Published by Gagas Media - www.gagasmedia.net
Cetakan pertama, 2009
Buku Magic Box CCW 2008
Cerita Nomor #13 - Lingkaran Tak Ada Ujungnya, oleh: Johana Melisa
Aku berlari ke arah taman, menyunggingkan senyum dengan lebar, seakan tak ada masalah yang sedang menghimpitku kini. Ya, begitulah aku. Ada seseorang yang mengejarku dari belakang. Dia laki-laki, berwajah sangat tampan, berumur tiga tahun di atasku, tetapi ia begitu perhatian padaku. Dia kakakku, Clay.
“Aura,” panggilnya dengan
napas tersengal-sengal. Aku tertawa semakin lebar, “Ayo, kejar aku, Clay!” seruku
bersemangat.
“Aura!” Dia berseru
lagi.
Aku berhenti tertawa,
suaranya terdengar tercekat. Aku menoleh ke arah belakang. Aku terkejut melihat
Clay tersungkur di rerumputan, ia memegangi lehernya, wajahnya pucat. Aku
segera berlari ke arahnya, menopang kepalanya pada lututku.
“Clay!” seruku takut.
Aku takut penyakitnya kambuh lagi. Entah apa nama penyakitnya, tetapi ia selalu
kesulitan bernapas bila obatnya telat diminum, atau bila ia kelelahan.
“Aura, aku... aku sulit
bernapas... to... long...,” serunya sambil memegang lenganku erat-erat.
Aku terlalu panik untuk
meminta bantuan hingga akhirnya bantuan itu datang sendiri. “Clay!” Andine,
kakak keduaku, memanggilnya, “Clay! Bertahan!” serunya.
Andine langsung
memanggil Mama. Mereka menggotong Clay ke rumah sakit tanpa mempedulikanku. Aku
terdiam begitu saja melihat kepergian mereka, sampai aku mendengar teriakan
Andine yang menyuruhku untuk segera datang ke rumah sakit.
Lima menit kemudian,
aku berhasil menyusul keduanya di rumah sakit. Mereka ada di ruang tunggu,
dengan sebuah perasaan cemas yang kupikir juga melanda hatiku kini. Andine
berdiri dengan wajah pucat pasi, tetapi ia tak bisa menyamarkan rasa amarahnya
padaku.
“Kau!” serunya sambil
menahan emosi, “Apa, sih, yang kau pikirkan?! Kau ingin membunuh Clay?! Dia itu
penyakitan! Dia tidak boleh melakukan hal-hal berat atau apa pun itu! Kau mau
membunuh? lya?!” tanyanya frustrasi.
Aku ingin menjawab,
tetapi aku tahu aku salah. Aku yang mernbiarkan Clay berlari mengejarku. Aku
yang memancing Clay untuk mengejarku. Aku yang lupa memberikan obat pada Clay, “Maaf,”
ujarku lirih.
Tamparan keras yang
diberikan Andine mendarat menyakitkan di pipi kiriku. Aku tak berani menatap
wajah kakakku itu lagi.
“Andine!” seru Mama.
“Ma, aku sudah tidak
tahan!” seru Andine, “Dia itu bukan siapa-siapa! Dia cuma anak yang Mama adopsi
14 tahun lalu! Untuk apa kit—”
“Cukup, Andine!” teriak
Mama.
Tidak ada kata-kata lain
lagi. Perkataan Andine telah terekam dalam pikiranku. Aku bukan anak mereka.
Ya, itulah yang terdengar jelas di telingaku sekarang. Air mataku langsung saja
turun tanpa aba-aba. Dalam sekejap, aku merasa duniaku kosong, aku merasa
tinggal sendiri. Papa, Mama, Clay, dan Andine, kini bukanlah keluargaku. Aku
tak punya keluarga!
“Kenapa harus bohong,
Ma? Dia hanya anak panti asuhan, dan di sanalah tempatnya tinggal!” Andine berteriak
lagi.
Aku sudah tak tahan. aku
berlari keluar dan rumah sakit, tak lagi ingin tinggal berlama-lama di sana.
Telingaku masih tajam mendengar suara teriakan Mama yang menyebut namaku. Tapi,
panggilan ‘Mama’ bukanlah milikku lagi sekarang. Aku sendiri, bukan anak dari
keluarga mana pun.
***
Sudah lama aku tak lagi
bertemu dengan keluargaku yang dulu. Kini, sudah tujuh tahun berlalu, usiaku
sudah 21 tahun. Selama tujuh tahun itu, aku mati-matian menemukan jati diriku,
bekerja hanya untuk makan dan menyambung hidup.
Tapi, kini, aku sudah
mampu berdiri sendiri. Aku bekerja sebagai perancang gaun pengantin di salah
satu butik. Sernua itu terjadi tiba-tiba, kalau saja saat itu tak ada orang
yang melihatku merancang gaun, mungkin sekarang aku masih hidup tak menentu.
“Gladis,” seseorang
memanggil nama samaranku, nama yang kupakai karena aku tak mau lagi mengingat
namaku yang dulu. “Gaun yang kau rancang kemarin sudah dijahit. Dan, hasilnya
luar biasa, kau tahu? CaIon pengantinnya akan datang sepuluh menit lagi,” ujar
Nina, rekan kerjaku.
“Ya, siapa namanya? Aku
lupa,” tanyaku.
“Pengantin wanitanya
Debora, yang pria Clay, baru tiba di Indonesia pagi ini katanya. Dia tinggal di
lnggris, hanya mau menjemput pengantin wanitanya,” jelas Nina.
Aku hanya mengangguk
asal. Keningku berkerut memandang gaun hasil ciptaanku, aku mengambil sebuah penghapus,
mengulangnya lagi hingga aku tak sadar ada dua insan yang berdiri di depanku.
Aku mengangkat wajahku,
memandang sepasang kekasih itu dengan saksama. Yang pria tampan, yang wanita juga
cantik, mereka pasangan serasi menurutku. “Halo, selamat datang. Anda pasti
Clay, dan nona cantik ini Debora, benar bukan?” tanyaku ramah.
Si wanita mengangguk
senang, kentara sekali dia suka dipuji. Aku balas tersenyum dan menyerahkan gaun
pengantin yang kurancang sendiri. Pria itu memandang takjub. “That's so wonderful,” katanya dalam Bahasa
Inggris.
Aku mengamati pria
tampan itu membuka dompetnya, dan sekilas kulihat foto yang kukenal. Satunya
gadis remaja dan satunya lagi seorang remaja pria yang tampan, tampak bahagia
sekali.
Pensil yang kugenggam
di tangan kiriku terjatuh. Aku mengatup-ngatupkan mulutku, menyebut nama Clay dengan
lirih. Aku masih ingat, dia kakakku yang pernah kutinggalkan dulu.
Clay memandangku dan
dompetnya secara bergantian. Dia tampak memahami situasi yang terjadi di antara
kami. Aku mendengarnya menyebut nama ‘Aura', telingaku tak percaya
mendengarnya. Dia mengenalku! Dia mengenalku!
Namun, aku malah
berlari pergi dan keluar dari tempat kerjaku. Sudah terlalu lama keluarga itu
kulupakan, dan sekarang Clay datang di hadapanku. Dia tumbuh menjadi pria
dewasa yang tak pernah terbayang dalam benakku, dan lebih-lebih, dia mengenalku
walau aku telah mengganti namaku.
Aku menstater mobilku
dan melaju dengan cepat. Aku tidak tahu mengapa aku harus menghindar, tetapi
aku sendiri tak ingin lagi hidup di masa laluku, hidup dalam keinginanku untuk
menjadi keluarga mereka, setidaknya karena aku sangat membutuhkan sebuah
keluarga. Tapi, bukankah mereka tak menerimaku lagi? Andine membenciku karena
Mama mengadopsi anak dari panti asuhan yang kumuh, untuk apa lagi aku harus
bersikeras menjadi bagian dari keluarga mereka?
Aku melihat dari kaca
spion mobilku, mobil Clay mengejar lari mobilku, di samping Clay duduk Debora
dengan wajah takut. Aku mengambil rute kanan dengan tiba-tiba karena jalan di
depanku buntu. Tapi, rupanya Clay tak menyadari, dia terus melaju dan menabrak
dinding beton yang ada di depannya. Jantungku berdebar lagi, waktu seolah
berhenti begitu aku menyaksikan mobil Clay tertabrak dan hancur.
***
Aku tidak menyangka.
Rumah sakit yang sama, hanya saja gedungnya sudah direnovasi dan hasilnya jauh
lebih bagus. Tujuh tahun yang lalu, aku ada di tempat ini, di sinilah aku
mengetahui identitasku yang asli.
Tapi, kini aku kembali,
juga menunggu Clay tersadar. Hatiku scolah tercabik lagi. Tiga jam yang lalu,
dokter menyatakan Debora telah meninggal, aku tidak tahu bagaimana aku harus
memberitahukannya kepada Clay.
Orangtua Debora sudah
datang. Mereka amat sedih mendengar kabar itu, padahal anak mereka baru saja
mau memasuki jenjang pernikahan. Tapi, syukurlah, mereka tidak menuntut Clay, mereka
memahami arti takdir anaknya, Debora.
Kini, aku duduk di
samping tempat tidur Clay. Aku memegang tangannya yang lemah. Air mataku
mengalir sedari tadi, rasa bersalah yang dulu kini tercipta lagi, dan sekarang
jauh lebih berat. Kalau nyawa Clay tidak selamat, semua ini adalah salahku.
Aku membenamkan wajah
di atas tangan Clay, menangis tanpa bisa berhenti. Beberapa saat kemudian,
tangan Clay bergerak dan aku mendengarnya memanggil namaku.
“Aura,” panggil Clay
lirih. Tanganku membekap mulutku sendiri, menangis dalam diam. “Aku sudah
bertemu denganmu…,” katanya lagi.
***
Seminggu lewat begitu
saja dengan amat cepat. Clay masih duduk di kursi rodanya karena kaki kanannya
cidera. Aku mendorong kursi rodanya ke arah taman. Sebuah tempat sepi yang
menjadi favoritku untuk merancang berbagai gaun pengantin.
“Bagaimana keadaanmu,
Clay?” tanyaku prihatin.
Clay tersenyum. “Aku
baik -baik saja, kok.”
“Dan, penyakitmu yang
dulu itu?”
“Hanya asma, Aura. Aku
sudah sembuh,” jelas Clay, “Lama tidak bertemu, Aura,” gumamnya.
Aku hanya tersenyum
kecil. “Clay, apa kau sayang aku?”
“Iya. Sejak dulu aku
sudah menyayangimu, walau aku tahu kau hanya adik angkatku, tapi aku sayang
padamu lebih daripada Andine sendiri. Aku menutup perasaanku bahwa mungkin aku
mencintaimu, tapi tak mungkin aku mencintai adikku sendiri. Tapi kini berbeda,
aku menyayangjmu seperti mencintai seorang
wanita, dan kau sudah dewasa, Aura,” kata Clay.
Aku heran dengan ucapan
Clay, “Tunggu, kau bilang… kau mencintaiku?”
“Ya. Kenapa? Kau tidak
punya perasaan yang sama terhadapku?” tanya Clay jujur.
“Bukan, tapi...
maksudku, bagaimana dengan Debora? Bahkan, kau sudah mau menikahinya, kan?”
tanyaku tak percaya.
Clay hanya menghela
napas. “Yeah, memang. Papa dan Mama yang menjodohkanku dengan Debora. Mereka
tak ingin aku terus-terusan… er... memikirkanmu,” ujar Clay pelan. “Aura, aku
akan membawamu kembali ke rumah, aku akan membawamu bertemu Papa dan Mama, dan
kita akan segera menikah...,” sambung Clay.
“Tapi... tidak secepat
itu, aku tak mungkin menikah dengan kakakku sendiri...”
“Ingat, kau bukan adik
kandungku dan aku sangat menyayangimu! Ayolah Aura, kau terlalu banyak alasan.”
“Er... aku butuh waktu,
Clay,” ujarku, “Kau tahu? Dari dulu aku kagum sekali padamu, kau selalu
membelaku. Dulu, aku berharap bertemu kekasih dan pasangan hidup yang mirip
denganmu....”
“Dan kau
mendapatkannya, kan? Bukan yang mirip lagi, tapi memang aku sendiri,” kata Clay
sambil tersenyum.
Aku tersenyum dan
memeluknya. dia terlonjak kaget tapi lalu tersenyum. Dia balas memelukku dengan
erat. Aku menemukan pecahan hatiku yang hilang, perasaan senang dan haru
berbaur menjadi satu. Aku menemukan keluarga lama dan cintaku.
***
Sore ini, Clay
membawaku kembali ke rumahku yang dulu. Rasa rindu ini sudah menyengat dari
kemarin malam. Clay sudah bisa berdiri lagi tanpa bantuan kursi roda, dia
tinggi sekali sekarang.
Di ruang makan
keluargaku, aku kembali duduk di tempatku yang dulu. Papa, Mama, dan Andine.
kini aku bisa makan malam dengan mereka lagi. Andine kini jauh lebih perhatian
dan sayang kepadaku. Mungkin karena dia menyadari perbuatannya yang dulu.
Papa dan Mama kaget
dengan Clay yang memutuskan untuk menikahiku. Tapi, akhirnya mereka setuju. Hanya
saja tidak secepat itu, aku dan Clay sudah lama tak bertemu, kami masih punya
waktu untuk mengenal lebih dekat.
Malam kian larut. Aku
dan Clay berada di teras rumah, tangannya merangkul pinggangku. Aku memandang Clay.
Wajahnya terlihat tampan, rahangnya kokoh, kedua matanya tajam dan berwarna cokelat
gelap. Ternyata, dia memang harus melindungiku sejak aku kecil sampai sekarang,
karena nantinya kami akan menikah juga.
“Benar, ya.” Clay
bergumam, “Lingkaran itu tak ada ujungnya.”
Aku mengulas senyum
kepada Clay, “Dan, dunia ini amat sempit.”
Benar Hubungan kami
seperti lingkaran. Yeah, ujung-ujungnya kembali lagi seperti semula. Namun,
yang paling penting, semuanya berakhir dengan happy ending.
No comments:
Post a Comment