Mosaic Rile: Lingkaran Tak Ada Ujungnya

Wednesday, April 22, 2015

Lingkaran Tak Ada Ujungnya


Published by Gagas Media - www.gagasmedia.net
Cetakan pertama, 2009
Buku Magic Box CCW 2008
Cerita Nomor #13 - Lingkaran Tak Ada Ujungnya, oleh: Johana Melisa





Aku berlari ke arah taman, menyunggingkan senyum dengan lebar, seakan tak ada masalah yang sedang menghimpitku kini. Ya, begitulah aku. Ada seseorang yang mengejarku dari belakang. Dia laki-laki, berwajah sangat tampan, berumur tiga tahun di atasku, tetapi ia begitu perhatian padaku. Dia kakakku, Clay.
“Aura,” panggilnya dengan napas tersengal-sengal. Aku tertawa semakin lebar, “Ayo, kejar aku, Clay!” seruku bersemangat.
“Aura!” Dia berseru lagi.
Aku berhenti tertawa, suaranya terdengar tercekat. Aku menoleh ke arah belakang. Aku terkejut melihat Clay tersungkur di rerumputan, ia memegangi lehernya, wajahnya pucat. Aku segera berlari ke arahnya, menopang kepalanya pada lututku.

“Clay!” seruku takut. Aku takut penyakitnya kambuh lagi. Entah apa nama penyakitnya, tetapi ia selalu kesulitan bernapas bila obatnya telat diminum, atau bila ia kelelahan.
“Aura, aku... aku sulit bernapas... to... long...,” serunya sambil memegang lenganku erat-erat.
Aku terlalu panik untuk meminta bantuan hingga akhirnya bantuan itu datang sendiri. “Clay!” Andine, kakak keduaku, memanggilnya, “Clay! Bertahan!” serunya.
Andine langsung memanggil Mama. Mereka menggotong Clay ke rumah sakit tanpa mempedulikanku. Aku terdiam begitu saja melihat kepergian mereka, sampai aku mendengar teriakan Andine yang menyuruhku untuk segera datang ke rumah sakit.
Lima menit kemudian, aku berhasil menyusul keduanya di rumah sakit. Mereka ada di ruang tunggu, dengan sebuah perasaan cemas yang kupikir juga melanda hatiku kini. Andine berdiri dengan wajah pucat pasi, tetapi ia tak bisa menyamarkan rasa amarahnya padaku.
“Kau!” serunya sambil menahan emosi, “Apa, sih, yang kau pikirkan?! Kau ingin membunuh Clay?! Dia itu penyakitan! Dia tidak boleh melakukan hal-hal berat atau apa pun itu! Kau mau membunuh? lya?!” tanyanya frustrasi.
Aku ingin menjawab, tetapi aku tahu aku salah. Aku yang mernbiarkan Clay berlari mengejarku. Aku yang memancing Clay untuk mengejarku. Aku yang lupa memberikan obat pada Clay, “Maaf,” ujarku lirih.
Tamparan keras yang diberikan Andine mendarat menyakitkan di pipi kiriku. Aku tak berani menatap wajah kakakku itu lagi.
“Andine!” seru Mama.
“Ma, aku sudah tidak tahan!” seru Andine, “Dia itu bukan siapa-siapa! Dia cuma anak yang Mama adopsi 14 tahun lalu! Untuk apa kit—”
“Cukup, Andine!” teriak Mama.
Tidak ada kata-kata lain lagi. Perkataan Andine telah terekam dalam pikiranku. Aku bukan anak mereka. Ya, itulah yang terdengar jelas di telingaku sekarang. Air mataku langsung saja turun tanpa aba-aba. Dalam sekejap, aku merasa duniaku kosong, aku merasa tinggal sendiri. Papa, Mama, Clay, dan Andine, kini bukanlah keluargaku. Aku tak punya keluarga!
“Kenapa harus bohong, Ma? Dia hanya anak panti asuhan, dan di sanalah tempatnya tinggal!” Andine berteriak lagi.
Aku sudah tak tahan. aku berlari keluar dan rumah sakit, tak lagi ingin tinggal berlama-lama di sana. Telingaku masih tajam mendengar suara teriakan Mama yang menyebut namaku. Tapi, panggilan ‘Mama’ bukanlah milikku lagi sekarang. Aku sendiri, bukan anak dari keluarga mana pun.

***
Sudah lama aku tak lagi bertemu dengan keluargaku yang dulu. Kini, sudah tujuh tahun berlalu, usiaku sudah 21 tahun. Selama tujuh tahun itu, aku mati-matian menemukan jati diriku, bekerja hanya untuk makan dan menyambung hidup.
Tapi, kini, aku sudah mampu berdiri sendiri. Aku bekerja sebagai perancang gaun pengantin di salah satu butik. Sernua itu terjadi tiba-tiba, kalau saja saat itu tak ada orang yang melihatku merancang gaun, mungkin sekarang aku masih hidup tak menentu.
“Gladis,” seseorang memanggil nama samaranku, nama yang kupakai karena aku tak mau lagi mengingat namaku yang dulu. “Gaun yang kau rancang kemarin sudah dijahit. Dan, hasilnya luar biasa, kau tahu? CaIon pengantinnya akan datang sepuluh menit lagi,” ujar Nina, rekan kerjaku.
“Ya, siapa namanya? Aku lupa,” tanyaku.
“Pengantin wanitanya Debora, yang pria Clay, baru tiba di Indonesia pagi ini katanya. Dia tinggal di lnggris, hanya mau menjemput pengantin wanitanya,” jelas Nina.
Aku hanya mengangguk asal. Keningku berkerut memandang gaun hasil ciptaanku, aku mengambil sebuah penghapus, mengulangnya lagi hingga aku tak sadar ada dua insan yang berdiri di depanku.
Aku mengangkat wajahku, memandang sepasang kekasih itu dengan saksama. Yang pria tampan, yang wanita juga cantik, mereka pasangan serasi menurutku. “Halo, selamat datang. Anda pasti Clay, dan nona cantik ini Debora, benar bukan?” tanyaku ramah.
Si wanita mengangguk senang, kentara sekali dia suka dipuji. Aku balas tersenyum dan menyerahkan gaun pengantin yang kurancang sendiri. Pria itu memandang takjub. “That's so wonderful,” katanya dalam Bahasa Inggris.
Aku mengamati pria tampan itu membuka dompetnya, dan sekilas kulihat foto yang kukenal. Satunya gadis remaja dan satunya lagi seorang remaja pria yang tampan, tampak bahagia sekali.
Pensil yang kugenggam di tangan kiriku terjatuh. Aku mengatup-ngatupkan mulutku, menyebut nama Clay dengan lirih. Aku masih ingat, dia kakakku yang pernah kutinggalkan dulu.
Clay memandangku dan dompetnya secara bergantian. Dia tampak memahami situasi yang terjadi di antara kami. Aku mendengarnya menyebut nama ‘Aura', telingaku tak percaya mendengarnya. Dia mengenalku! Dia mengenalku!
Namun, aku malah berlari pergi dan keluar dari tempat kerjaku. Sudah terlalu lama keluarga itu kulupakan, dan sekarang Clay datang di hadapanku. Dia tumbuh menjadi pria dewasa yang tak pernah terbayang dalam benakku, dan lebih-lebih, dia mengenalku walau aku telah mengganti namaku.
Aku menstater mobilku dan melaju dengan cepat. Aku tidak tahu mengapa aku harus menghindar, tetapi aku sendiri tak ingin lagi hidup di masa laluku, hidup dalam keinginanku untuk menjadi keluarga mereka, setidaknya karena aku sangat membutuhkan sebuah keluarga. Tapi, bukankah mereka tak menerimaku lagi? Andine membenciku karena Mama mengadopsi anak dari panti asuhan yang kumuh, untuk apa lagi aku harus bersikeras menjadi bagian dari keluarga mereka?
Aku melihat dari kaca spion mobilku, mobil Clay mengejar lari mobilku, di samping Clay duduk Debora dengan wajah takut. Aku mengambil rute kanan dengan tiba-tiba karena jalan di depanku buntu. Tapi, rupanya Clay tak menyadari, dia terus melaju dan menabrak dinding beton yang ada di depannya. Jantungku berdebar lagi, waktu seolah berhenti begitu aku menyaksikan mobil Clay tertabrak dan hancur.

***
Aku tidak menyangka. Rumah sakit yang sama, hanya saja gedungnya sudah direnovasi dan hasilnya jauh lebih bagus. Tujuh tahun yang lalu, aku ada di tempat ini, di sinilah aku mengetahui identitasku yang asli.
Tapi, kini aku kembali, juga menunggu Clay tersadar. Hatiku scolah tercabik lagi. Tiga jam yang lalu, dokter menyatakan Debora telah meninggal, aku tidak tahu bagaimana aku harus memberitahukannya kepada Clay.
Orangtua Debora sudah datang. Mereka amat sedih mendengar kabar itu, padahal anak mereka baru saja mau memasuki jenjang pernikahan. Tapi, syukurlah, mereka tidak menuntut Clay, mereka memahami arti takdir anaknya, Debora.
Kini, aku duduk di samping tempat tidur Clay. Aku memegang tangannya yang lemah. Air mataku mengalir sedari tadi, rasa bersalah yang dulu kini tercipta lagi, dan sekarang jauh lebih berat. Kalau nyawa Clay tidak selamat, semua ini adalah salahku.
Aku membenamkan wajah di atas tangan Clay, menangis tanpa bisa berhenti. Beberapa saat kemudian, tangan Clay bergerak dan aku mendengarnya memanggil namaku.
“Aura,” panggil Clay lirih. Tanganku membekap mulutku sendiri, menangis dalam diam. “Aku sudah bertemu denganmu…,” katanya lagi.

***
Seminggu lewat begitu saja dengan amat cepat. Clay masih duduk di kursi rodanya karena kaki kanannya cidera. Aku mendorong kursi rodanya ke arah taman. Sebuah tempat sepi yang menjadi favoritku untuk merancang berbagai gaun pengantin.
“Bagaimana keadaanmu, Clay?” tanyaku prihatin.
Clay tersenyum. “Aku baik -baik saja, kok.”
“Dan, penyakitmu yang dulu itu?”
“Hanya asma, Aura. Aku sudah sembuh,” jelas Clay, “Lama tidak bertemu, Aura,” gumamnya.
Aku hanya tersenyum kecil. “Clay, apa kau sayang aku?”
“Iya. Sejak dulu aku sudah menyayangimu, walau aku tahu kau hanya adik angkatku, tapi aku sayang padamu lebih daripada Andine sendiri. Aku menutup perasaanku bahwa mungkin aku mencintaimu, tapi tak mungkin aku mencintai adikku sendiri. Tapi kini berbeda, aku menyayangjmu seperti mencintai seorang  wanita, dan kau sudah dewasa, Aura,” kata Clay.
Aku heran dengan ucapan Clay, “Tunggu, kau bilang… kau mencintaiku?”
“Ya. Kenapa? Kau tidak punya perasaan yang sama terhadapku?” tanya Clay jujur.
“Bukan, tapi... maksudku, bagaimana dengan Debora? Bahkan, kau sudah mau menikahinya, kan?” tanyaku tak percaya.
Clay hanya menghela napas. “Yeah, memang. Papa dan Mama yang menjodohkanku dengan Debora. Mereka tak ingin aku terus-terusan… er... memikirkanmu,” ujar Clay pelan. “Aura, aku akan membawamu kembali ke rumah, aku akan membawamu bertemu Papa dan Mama, dan kita akan segera menikah...,” sambung Clay.
“Tapi... tidak secepat itu, aku tak mungkin menikah dengan kakakku sendiri...”
“Ingat, kau bukan adik kandungku dan aku sangat menyayangimu! Ayolah Aura, kau terlalu banyak alasan.”
“Er... aku butuh waktu, Clay,” ujarku, “Kau tahu? Dari dulu aku kagum sekali padamu, kau selalu membelaku. Dulu, aku berharap bertemu kekasih dan pasangan hidup yang mirip denganmu....”
“Dan kau mendapatkannya, kan? Bukan yang mirip lagi, tapi memang aku sendiri,” kata Clay sambil tersenyum.
Aku tersenyum dan memeluknya. dia terlonjak kaget tapi lalu tersenyum. Dia balas memelukku dengan erat. Aku menemukan pecahan hatiku yang hilang, perasaan senang dan haru berbaur menjadi satu. Aku menemukan keluarga lama dan cintaku.

***
Sore ini, Clay membawaku kembali ke rumahku yang dulu. Rasa rindu ini sudah menyengat dari kemarin malam. Clay sudah bisa berdiri lagi tanpa bantuan kursi roda, dia tinggi sekali sekarang.
Di ruang makan keluargaku, aku kembali duduk di tempatku yang dulu. Papa, Mama, dan Andine. kini aku bisa makan malam dengan mereka lagi. Andine kini jauh lebih perhatian dan sayang kepadaku. Mungkin karena dia menyadari perbuatannya yang dulu.
Papa dan Mama kaget dengan Clay yang memutuskan untuk menikahiku. Tapi, akhirnya mereka setuju. Hanya saja tidak secepat itu, aku dan Clay sudah lama tak bertemu, kami masih punya waktu untuk mengenal lebih dekat.
Malam kian larut. Aku dan Clay berada di teras rumah, tangannya merangkul pinggangku. Aku memandang Clay. Wajahnya terlihat tampan, rahangnya kokoh, kedua matanya tajam dan berwarna cokelat gelap. Ternyata, dia memang harus melindungiku sejak aku kecil sampai sekarang, karena nantinya kami akan menikah juga.
“Benar, ya.” Clay bergumam, “Lingkaran itu tak ada ujungnya.”
Aku mengulas senyum kepada Clay, “Dan, dunia ini amat sempit.”
Benar Hubungan kami seperti lingkaran. Yeah, ujung-ujungnya kembali lagi seperti semula. Namun, yang paling penting, semuanya berakhir dengan happy ending.
***

No comments:

Post a Comment