Aku merasakan, bayangan
tinggi menjulang, berdiri di depan jendela berbingkai kotak-kotak. Aku tahu
kapan dia berdiri di depan jendela rumahnya, saat matahari nyaris tenggelam,
menampakkan sinar yang katanya seperti warna emas, percampuran sempurna pada
ciptaan yang sempurna.
Pikiranku beralih pada
sosok di rumah sebelah, tanganku mencari-cari kamera digital di atas mejaku.
Susah payah aku mengambilnya, mendekatkan benda itu ke sebelah mataku, lalu
menjepret objekku.
Dia. Aku hafal namanya,
usianya tanggal lahirnya—oh bukan. Dia bukan sosok orang yang kusukai. Bukan
pula seperti kisah kebanyakan-kalau dia adalah sosok tampan yang disukai oleh
gadis tetangganya, berharap bisa berkencan dengannya.
Tahu tidak? Aku buta.
Aku benci dia, Ash. Aku telah kehilangan semuanya karena Ash menabrakku. Aku
tak bisa sekolah karena aku tak sanggup menerima segala bentuk penghinaan.
Dua tahun aku tak bisa
melihat, seharusnya sekarang aku bisa kuliah, tapi aku malah jadi guru privat
piano di rumahku, dan terkadang, aku mengajar huru Braille kepada sesama orang buta.
Bisa bayangkan, betapa
aku menginginkan Ash merasakan penderitaan yang sama denganku. Aku ingin Ash
tidak bisa melihat warna lain selain hitam-putih.