Mosaic Rile: Aku di sini, Lihat Aku!

Thursday, May 7, 2015

Aku di sini, Lihat Aku!



Tiga. Dua. Satu. Plop!

Ah, ayolah menghilang!

Gladis menggerutu dalam diamnya. Dia menyentakkan sebelah kakinya ke tanah, tidak ada bunyi berdebum yang cukup keras untuk membuat kaget dua gadis yang sedang bergosip itu. Berkali-kali dia mencoba, dia tidak akan bisa menghilang. Sulap jenis apa, yang selama di dunia dia pelajari, bisa membuatnya menghilang dalam sekejap. Cih!

Hari ini genap dua tahun hari jadiannya bersama Warren. Cowok keren blasteran Indo-Rumania, yang punya segudang kelebihan untuk dipuja. Dan Warren pacarnya. Dulu. Gladis mengamati Warren dari jauh. Betapa senang hatinya ketika melihat Warren tertawa, dengan seragam basket melekat di tubuhnya, otomatis Warren satu-satunya cowok paling tinggi, paling keren, dan paling ramah yang selalu membuat hati Gladis terpikat.
Sore ini, Gladis mengenakan rok terusan berwarna merah jambu, mengepang rambutnya, memulas wajahnya hingga tanpa berkaca pun Gladis tahu Warren selalu menyukai penampilannya yang seperti ini.
“Hei! Sini!” suara Warren berteriak ke arahnya.
Gladis terkejut hingga hampir tersandung. Dia kembali sadar dari lamunannya dan menyadari bahwa dia sedang latihan menghilang tadi. Aku? Gladis mengarahkan jari telunjuknya tepat di depan hidungnya.
“Sebentar,” suara di belakang Gladis terdengar seperti bunyi cicitan tikus yang dimanja-manjakan. Tentu saja bukan Gladis yang dipanggil Warren. Karena itulah dia ingin menghilang saja, sedekat apapun keberadaannya di dekat Warren, yang Warren lihat sekarang adalah Livia, si pacar baru Warren.
Livia berjalan setengah melompat ke arah Warren, kemudian cowok itu menyambut Livia dengan pelukan hangat. Gladis membuang muka. Meskipun sudah merelakan agar Warren bahagia bersama Livia, tapi Gladis sungguh terluka.
Kali ini Warren dan Livia pergi menonton film di bioskop, berjalan-jalan di mall, suap-suapan es krim vanilla yang sangat Gladis sukai, dan…oh! Gladis lelah mengendap-endap dan mengikuti kedua pasangan itu berkeliling tanpa ketahuan.
Sekarang, dia memilih tidak sembunyi, berjalan semakin dekat, semakin dekat dengan keduanya. Tapi Warren dan Livia tidak terusik. Semakin dekat dengan Warren membuat kulit Gladis seolah tersengat listrik. Gladis terus-menerus diingatkan oleh peristiwa itu.
Saat Warren menggandeng tangannya, menyebrangi jalan raya yang sepi. Kehangatan itu rasanya masih tersisa di telapak tangan Gladis yang pucat. Namun, sebuah lori datang dari arah berlawanan, bagaikan kilat cepatnya hingga yang Gladis tahu adalah mendorong Warren jauh-jauh, dan merasakan dirinya terhempas, melayang, dan mengawang. Saat itulah terakhir kali dia merasakan detak jantungnya sendiri.
Gladis menepuk-nepuk dadanya, berusaha menenangkan diri. Matanya yang sayu menatap punggung Warren.
“Livia?” panggil Warren. Cowok itu menghela napas, “Kamu senang hari ini?”
Livia mengangguk bersemangat.
“Ah…,” Warren mendesah. Digenggamnya tangan Livia, “Maaf, ya? Aku selalu memikirkan Gladis setiap kali bersama denganmu. Melihatmu seperti melihat Gladis. Aku…, aku mau ke makamnya hari ini,” ujar Warren pelan.
Livia tidak menjawab. Gladis menendang kerikil dengan sepatunya, kerikilnya diam saja. Dia tidak ingin menjadi bayang-bayang. Dia ingin memberitahu Warren bahwa dia ada di sini.
Tiga. Dua. Satu.
Lihatlah aku, Warren!
Tidak terjadi apa-apa. Warren berjalan menjauhi dirinya dan Livia, semakin lama semakin jauh.
Plop! Plop! Plop!
Gladis meraung frustasi. Ketika dia tahu bahwa Warren benar-benar merindukannya, Gladis tak ingin menghilang lagi, dia ingin terus berada di samping Warren, dia ingin Warren bisa melihatnya. Seandainya saja… dia tidak meninggal.

*******
Written by : Johana Melisa

No comments:

Post a Comment