Tiga.
Dua. Satu. Plop!
Ah, ayolah menghilang!
Gladis
menggerutu dalam diamnya. Dia menyentakkan sebelah kakinya ke tanah, tidak ada
bunyi berdebum yang cukup keras untuk membuat kaget dua gadis yang sedang
bergosip itu. Berkali-kali dia mencoba, dia tidak akan bisa menghilang. Sulap
jenis apa, yang selama di dunia dia pelajari, bisa membuatnya menghilang dalam
sekejap. Cih!
Hari
ini genap dua tahun hari jadiannya bersama Warren. Cowok keren blasteran
Indo-Rumania, yang punya segudang kelebihan untuk dipuja. Dan Warren pacarnya. Dulu. Gladis mengamati Warren dari jauh.
Betapa senang hatinya ketika melihat Warren tertawa, dengan seragam basket
melekat di tubuhnya, otomatis Warren satu-satunya cowok paling tinggi, paling
keren, dan paling ramah yang selalu membuat hati Gladis terpikat.
Sore
ini, Gladis mengenakan rok terusan berwarna merah jambu, mengepang rambutnya,
memulas wajahnya hingga tanpa berkaca pun Gladis tahu Warren selalu menyukai
penampilannya yang seperti ini.
“Hei!
Sini!” suara Warren berteriak ke arahnya.
Gladis
terkejut hingga hampir tersandung. Dia kembali sadar dari lamunannya dan
menyadari bahwa dia sedang latihan menghilang tadi. Aku? Gladis mengarahkan jari telunjuknya tepat di depan hidungnya.
“Sebentar,”
suara di belakang Gladis terdengar seperti bunyi cicitan tikus yang
dimanja-manjakan. Tentu saja bukan Gladis yang dipanggil Warren. Karena itulah
dia ingin menghilang saja, sedekat apapun keberadaannya di dekat Warren, yang
Warren lihat sekarang adalah Livia, si pacar baru Warren.
Livia
berjalan setengah melompat ke arah Warren, kemudian cowok itu menyambut Livia
dengan pelukan hangat. Gladis membuang muka. Meskipun sudah merelakan agar
Warren bahagia bersama Livia, tapi Gladis sungguh terluka.
Kali
ini Warren dan Livia pergi menonton film di bioskop, berjalan-jalan di mall,
suap-suapan es krim vanilla yang sangat Gladis sukai, dan…oh! Gladis lelah mengendap-endap
dan mengikuti kedua pasangan itu berkeliling tanpa ketahuan.
Sekarang,
dia memilih tidak sembunyi, berjalan semakin dekat, semakin dekat dengan
keduanya. Tapi Warren dan Livia tidak terusik. Semakin dekat dengan Warren
membuat kulit Gladis seolah tersengat listrik. Gladis terus-menerus diingatkan
oleh peristiwa itu.
Saat
Warren menggandeng tangannya, menyebrangi jalan raya yang sepi. Kehangatan itu
rasanya masih tersisa di telapak tangan Gladis yang pucat. Namun, sebuah lori
datang dari arah berlawanan, bagaikan kilat cepatnya hingga yang Gladis tahu
adalah mendorong Warren jauh-jauh, dan merasakan dirinya terhempas, melayang,
dan mengawang. Saat itulah terakhir kali dia merasakan detak jantungnya sendiri.
Gladis
menepuk-nepuk dadanya, berusaha menenangkan diri. Matanya yang sayu menatap
punggung Warren.
“Livia?”
panggil Warren. Cowok itu menghela napas, “Kamu senang hari ini?”
Livia
mengangguk bersemangat.
“Ah…,”
Warren mendesah. Digenggamnya tangan Livia, “Maaf, ya? Aku selalu memikirkan
Gladis setiap kali bersama denganmu. Melihatmu seperti melihat Gladis. Aku…, aku
mau ke makamnya hari ini,” ujar Warren pelan.
Livia
tidak menjawab. Gladis menendang kerikil dengan sepatunya, kerikilnya diam
saja. Dia tidak ingin menjadi bayang-bayang. Dia ingin memberitahu Warren bahwa
dia ada di sini.
Tiga.
Dua. Satu.
Lihatlah aku, Warren!
Tidak
terjadi apa-apa. Warren berjalan menjauhi dirinya dan Livia, semakin lama
semakin jauh.
Plop! Plop! Plop!
Gladis
meraung frustasi. Ketika dia tahu bahwa Warren benar-benar merindukannya,
Gladis tak ingin menghilang lagi, dia ingin terus berada di samping Warren, dia
ingin Warren bisa melihatnya. Seandainya saja… dia tidak meninggal.
*******
Written by : Johana Melisa
No comments:
Post a Comment