Mosaic Rile: September

Thursday, September 11, 2014

September


“Don’t wanna be misunderstood, But I’m starting to believe that this could be the start of something good – Daughtry”
-------------------------------------------------------------------------------------------


Jari-jari lentik itu menyentuh ujung benda berbentuk bola kaca, di dalamnya berdiri sebuah patung beruang mungil berwarna cokelat, lengkap dengan baju berwarna biru gelap menutupi hampir seluruh tubuhnya. Diputarnya perlahan benda itu dan terdengar suara alunan musik merdu yang memenuhi isi ruangan dengan lembut.

Ia ingat bagaimana alunan musik itu pernah singgah di kedua telinganya nyaris setiap malam, di ruangan sebelah kamar tidurnya. Waktu itu, mungkin segalanya berjalan seperti biasa. Kehidupannya, kehidupan dia, dan alunan musik itu.


Valerie menghembuskan napasnya yang tiba-tiba terasa berat. Ia meletakkan benda tersebut, kemudian mengitari toko seperti yang pertama kali dilakukannya, sebelum benda itu mengalihkan pandangannya.
“Hai, Lora!” Valerie menyapa wanita separuh baya yang baru saja membuka pintu masuk dengan gesit.
Dengan kacamata bulat yang bertengger di bawah tulang hidungnya, Lora tersenyum, ia menepuk-nepukkan kedua tangannya yang basah di celemek yang dikenakannya, kemudian meremas pelan pundak Valerie. “Aku baru saja menyiram tanaman di luar tadi. Pagi ini bunga yang kutanam sepertinya bermekaran. Senang sekali. Ah, ya! Apa kabarmu, Nak?”
Valerie menyunggingkan senyumnya, “Masih dengan kabar yang sama, aku baik, Lora,” kemudian ia meraih Lora dalam pelukan singkat.
“Sudah nyaris berbulan-bulan kau tidak ke sini,” Lora menaikkan sebelah alisnya. “Duduklah di sana, akan kubuatkan kau teh manis, dan kita akan bercerita,” Lora menunjuk sebuah kursi di luar toko miliknya.
Valerie mengangguk mengiyakan. Sementara ia mengamati Lora yang sudah menghilang dari pandangannya, ia membalikkan badan dan berjalan ke kursi yang ditunjuk wanita itu. Valerie duduk di sana, meletakkan ponsel yang sedari tadi digenggamnya di atas meja kayu bercat putih.
Melanie’s Dream, nama toko mungil milik Lora. Segala benda yang berfungsi sebagai pencipta memori dijualnya sejak beberapa tahun silam. Lora memiliki seorang anak perempuan bernama Melanie. Melanie kecil menyukai benda-benda seperti kotak musik, piringan hitam, figura, kertas lipat, boneka, dan benda-benda lain yang kebanyakan orang memberikannya sebagai hadiah ulang tahun, hadiah pernikahan, hadiah persahabatan, atau sekedar koleksi.
Sebuah kanker ganas menggerogoti tubuhnya dan Melanie meninggal di sebuah rumah sakit saat usianya menginjak 16 tahun. Dan Lora membuka usaha kecil bersama dengan suaminya, menjual barang-barang yang disukai anak remaja seusia anaknya, berharap bahwa Melanie dapat melihat dan menyukainya juga.
Ingatannya seketika kembali pada detik di mana ponselnya berbunyi sekilas. Sebuah pesan singkat masuk dan tertera di layar ponsel Valerie. From: Ernest. Ia menimbangnya sejenak untuk membuka pesan itu, namun kedatangan Lora membuatnya memilih untuk mengunci layar ponselnya.
Valerie tersenyum menyambut kedatangan Lora dan secangkir teh manis yang dibawakan. Aroma teh menguar di depan hidungnya saat ia meneguk perlahan isi cangkirnya. Sejenak, ia melirik singkat pada ponselnya yang berbunyi pelan lagi.
“Ernest?” tebak Lora.
Well, ya. A pathetic like me should never accept his love from the very beginning,” gumamnya.
Don’t be,” Lora menggenggam tangannya perlahan. “Tell me the story, Val. Try me.”
***
“Bisa tidak kau berhenti memegang ponselmu sementara kau mendengar ceritaku?” gerutu Deirdre.
Valerie tertawa kecil. “Bisa, tunggu sebentar,” ia memasang wajah pura-pura serius, sementara jari-jarinya dengan lincah membalas pesan singkat di salah satu aplikasi ponselnya.
“Alerie….,” Deirdre memanggilnya dengan sebutan seperti itu bila dia sedang kesal.
Ia meletakkan ponselnya dengan sigap di atas meja, melipat kedua tangannya dan mencondongkan tubuhnya ke arah Deirdre. “Yes, my Pretty Sister. Cerita apa?” tanyanya.
Deirdre memutar bola matanya. “Ernest. Ini tentang dia,” ujarnya.
Valerie mengarahkan pandangan ke wajah Deirdre. Melihat Deirdre hampir sama seperti melihat dirinya, kecuali cara Deirdre merias wajahnya yang sudah cantik itu, dan tentu saja, usia Deirdre yang lebih tua setahun darinya. Sinar wajah Deirdre saat membicarakan Ernest seharusnya ceria seperti biasanya, tapi kali ini, sinar wajahnya seolah meredup.
“Aku memutuskannya.”
Kedua bola mata Valerie membulat tak percaya. “Kenapa? Ada apa?”
Deirdre mengangkat bahu.
“Kau tidak mencintainya?”
“Bukan.”
“Dia mencintai orang lain?”
“Bukan juga,” Deirdre menimbang sejenak. “Ya, bisa saja.”
“Dia selingkuh? Begitu katamu?”
“Tidak juga.”
Valerie menggerutu. “Yang mana yang benar?”
“Yang benar adalah tidak ada lagi nama Ernest di sini,” Deirdre mengangkat ponselnya, menyentuh dadanya, kemudian menunjuk pelipisnya. “Tidak ada.”
“Kau yakin?”
“Yeah, kau tidak mengenalnya. Ernest. Kau tidak kenal,” jawab Deirdre. “Tidak seperti aku mengenalmu dan Dave.”
“Jangan mengungkit Dave,” potong Valerie.
“Kau masih berhubungan dengan Dave, kan?”
Giliran Valerie yang mengangkat bahu. Tapi ia mengangguk. “Masih, tapi tidak seperti yang kau lihat. Mengerti?”
“Kapan aku pernah mengerti hubungan percintaanmu?”
Ia dan Deirdre tertawa bersama.
***
Beberapa bulan setelah pembicaraannya dengan Deirdre waktu itu seakan segala sesuatu berjalan dengan normal. Kecuali pikirannya tentang Dave.
“Ada yang ingin kubicarakan,” begitu katanya pada Dave.
Sepasang bola mata cokelat terang itu balik memandangnya lurus-lurus. “Ya?”
“Berkenalan denganmu adalah hal yang tak pernah kulupakan, tapi kupikir, meneruskan sesuatu yang tidak mungkin bisa bersatu adalah sia-sia. Jadi bagaimana kalau kita memulainya sebagai teman, Dave?”
Valerie mengerjapkan matanya, berusaha menghilangkan segala peristiwa yang telah menjadi memorinya kini. Berharap keputusannya benar meski setiap kali ia mengingat tentang Dave yang muncul adalah sebuah rasa perih di hatinya. Namun, apapun yang menjadi keraguannya saat itu telah berubah menjadi suatu kepastian.
***
Dan kehadiran Ernest yang tak pernah diduganya.
“Di mana aku mengenalmu?” Valerie mengerutkan dahinya. Ia berada di sebuah kafe kecil dekat rumahnya, di hadapannya duduk seorang pria bernama Ernest. Pria itu adalah pria yang sama yang diceritakan Deirdre. Lalu entah bagaimana ceritanya, ia dan Ernest duduk berhadapan dengan dua gelas berisi es krim di hadapan mereka.
Ernest mengangkat bahu dengan ringan. “Beberapa tahun yang lalu—mungkin.”
Valerie tertawa. “Kau yakin?”
“Saat aku ke rumahmu atau mengantar Deirdre pulang, aku melihatmu berjalan ke arah rumah, menyapa pun tidak. Tapi kupikir, saat itu kita sudah saling mengenal?” Ernest balik bertanya.
Valerie memiringkan wajahnya, “Bisa jadi,” ia bergumam.
Pertemuan itu berlanjut hingga ia tak tahu bagaimana semuanya berawal.
“Kau yakin kau lebih suka menonton ini?” Ernest dengan t-shirt hitamnya hari itu mengajaknya menonton film.
Valerie menoleh pada Ernest yang duduk di sebelahnya. “Aku sudah menonton film yang lain dan kupikir kita tidak punya pilihan.”
Lalu, kemudian hari, Ernest dengan t-shirt birunya. “Kau mau makan malam di mana?”
“Tidak tahu,” jawab Valerie, “Kau yang masak,” celetuknya.
You kidding me?”
I’m not.
Alright, whatever u wants,” dan jawaban Ernest berhasil membuatnya heran.
Valerie menemukan bahwa tak ada hari yang terlewati tanpa kehadiran Ernest. Tanpa sengaja tangannya membalas setiap pesan yang dikirim, tersenyum pada segala sesuatu mengenai pria itu.
Just be mine, Valerie,” kalimat itu terucap dari mulut Ernest begitu tiba-tiba, begitu cepat.
***
Perkataan Ernest terngiang di kepalanya saat setiap kali ia mengingat Deirdre. Ketika perasaannya menyambut kedatangan Ernest, ia tahu ia harus mempersiapkan dirinya. Untuk Deirdre. Untuk Dave. Dan untuknya.
Sebuah suara benda pecah terdengar dari sebelah kamarnya, dari arah kamar Deirdre. Ia bahkan tak perlu menduga, sejak tadi ia telah berdiri di depan pintu kamar kakaknya itu. Ia mengetuk perlahan pintu kamar Deirdre. Satu menit. Dua menit. Tidak ada jawaban.
“Deir,” bersamaan dengan ia mengucapkan nama Deirdre, pintu terbuka dengan kasar.
Valerie melangkah masuk, ia melihat sebuah benda menyerupai bola kaca namun telah hancur bersama dengan isinya. Benda itu pemberian Ernest.
“Selamat,” ucap Deirdre dingin.
Valerie menoleh ke asal suara. Ia tak dapat melihat jelas wajah Deirdre dalam cahaya lampu kecil di samping tempat tidur Deirdre. Di tempat tidur itu, ia dan Deirdre pernah bercerita tentang Ernest, tentang bagaimana Ernest dan Deirdre merencanakan segala hal bersama-sama, tentang apa pun.
Don’t say,” Valerie menjawab.
Just let me say it out loud. Congratulation to you—both of you.
You may judge, I won’t stop you. Aku tahu apa yang kau pikirkan tentang Ernest dan—”
“Bagaimana dengan Dave?”
Valerie terdiam.
“Kau memutuskannya, ah? Demi Ernest?”
Nada suara Deirdre sedingin es, seakan tak ada yang bisa ia lakukan kecuali membiarkan Deirdre menumpahkan emosinya.
“Mempermainkan Dave? Sejak kapan kau mengenal Ernest? Saat malam di mana aku pernah menceritakan tentang kami? Saat aku berkata padamu, aku memutuskannya, dan ia mendekatimu? Saat kau—memilih Ernest dan mengakhiri hubunganmu dengan Dave? Yang mana? Saat Dave bercerita dan meneleponku tentangmu. When his heart was broken, you smile with him.”
Dan begitulah pembicaraannya berakhir dengan Deirdre.
***
Katakan saja bahwa cinta tidak memilih maupun memihak.
Valerie melipat kertas berwarna merah, membentuknya menjadi segitiga, melipatnya kembali hingga membentuk segitiga yang lebih kecil. Namun pikirannya berkecamuk hingga ia menghentikan aktivitasnya.
Seseorang menghampirinya. “Apa yang kau lipat?”
A bird.
Red bird.”
The strong one.
Can fly?
Hope so,” Valerie tersenyum tipis.
“Hey,” Ernest memanggilnya perlahan. “Kau baik-baik saja?”
“Ya, seperti yang kau lihat,” jawab Valerie.
“Bagaimana dengan Deirdre?”
Valerie menggeleng. “Ia tak lagi mengungkitnya sejak pembicaraan kami yang terakhir,” ia mendesah, “I don’t know when my feeling towards you come and become so fast until everyone not agree with this,” lanjutnya.
They will, they just need a time,” balas Ernest, I’m so sorry for making you take this risk.”
Valerie mengangkat wajahnya dan memandang pria di hadapannya. Ernest tersenyum dan entah mengapa, senyum itu membuat hatinya cukup tenang.
Ia berharap bahwa masa-masa tegang dirinya dan Deirdre segera menghilang, ia tidak mengharapkan Deirdre mendukung dirinya, namun perasaannya sayangnya sebagai seorang adik tidak pernah hilang meskipun Deirdre membencinya.
Ketika minggu demi minggu berjalan dan Deirdre masih tetap dalam diamnya, ia dan Ernest hampir saja menyerah untuk berharap.
From this moment on, we talk about us and our happiness. So we won’t be overshadowed by this again,” kata Ernest.
“Ernest,” panggil Valerie.
“Ya?”
“Deirdre akan pergi ke Kanada. Dia bilang padaku bahwa ia mendapat pekerjaan di sana dan akan tinggal di sana untuk sementara waktu. Apakah dia menghindar?”
“Kanada?” Ernest mengulang setengah kaget.
Valerie mengerjapkan matanya ke arah Ernest. “Ya. Ada apa?”
Ernest menggeleng. “Will you be okay?”
“Menurutmu?”
***
What do you think, Lora?” Valerie menyandarkan tubuhnya ke kursi yang juga bercat putih. Panas pagi hari sudah berganti cukup terik setelah ia selesai bercerita. Lora mendengarnya seperti seorang sahabat lama, keduanya jarang bertemu namun sering bertukar cerita. Lora bilang ia menganggap dirinya dan Deirdre seperti anaknya, karena itulah Lora nyaris mengetahui hampir menyeluruh tentang kehidupan mereka.
“Ernest dan Deirdre serta kau dan Ernest adalah dua hal yang berbeda. Yang menjalani adalah dirimu sendiri dengan segala kesadaran yang kau miliki. Tidak ada yang bisa bilang itu salah maupun benar. Sebab suatu masalah tidak dilihat dari dua sisi saja, melainkan melihatnya dari reaksi,” jelas Lora.
Valerie mengangguk. “Aku terus memikirkannya. Setiap kali aku melihat Deirdre, kami seakan memulai percakapan dengan canggung. Mencuri pandang dengan canggung. Dan setiap kali aku melihat Ernest, kadang kala aku membayangkannya sedang bersama dengan Deirdre, dan itu membuatku ragu.”
“Kepercayaan adalah masalah waktu. Begitu pula masa depan. Bukankah kau bisa menciptakan masa depan dengan keinginanmu saat ini?”
Valerie memasang senyum di wajahnya. “Aku dan Ernest sedang merencanakan hal ini.”
Lora mencondongkan tubuhnya, meraih tangan Valerie dan menggenggamnya perlahan. “This is what friends are for.
Ponsel Valerie berbunyi sekali lagi, tapi bunyi itu merupakan panggilan dari Ernest. Valerie menatap Lora sejenak. Lora memberi isyarat dengan menggerakan bola matanya ke arah ponsel agar ia mau mengangkatnya.
“Halo?”
“Sampai kapan kau mau mengacuhkan pesanku?”
Valerie tertawa kecil. “Aku sedang berbicara dengan Lora,” Valerie menjawab.
“Ya, aku tahu. Aku tepat di belakangmu.”
Belum sempat ia menoleh ke belakang, sepasang tangan yang sudah dikenalnya meraihnya dalam pelukan singkat. “Ernest!” serunya terkejut.
“Halo,” sapanya.
Ernest mengambil tempat di kursi kosong, di antara dirinya dan Lora. “Hai, Lora, apa kabarmu?”
“Senang bertemu denganmu lagi, Ernest. Kabarku baik,” Lora tersenyum.
Ernest mengeluarkan sebuah amplop berukuran setengah halaman kertas folio, di atasnya tertulis ‘To : Mr. & Mrs. Wiliams’ dengan cetakan tinta berwarna emas.
“Undangannya sudah jadi, dan kau orang kedua yang menerimanya, Lora,” kata Ernest.
Valerie menoleh ke arah Ernest. “Kau tidak mengatakannya dulu padaku, aku baru saja hendak bercerita tentang kelanjutannya,” Valerie memprotes.
“Deirdre bahkan sudah menerimanya lebih dulu,” Ernest tertawa lebar.
Kau bilang apa?” suaranya meninggi. Lalu ponselnya kembali berbunyi lagi.
Hello, my Little Sister, congratulation,” ini ucapan selamat dari Deirdre yang kedua, namun diucapkan dengan nada yang jauh berbeda.
“Deirdre!” serunya.
Suara tawa terdengar di seberang sana. “Aku sudah membeli tiket pulang. Aku akan datang. Sampaikan salamku pada Ernest.”
“Kau bercanda?” Valerie bertanya tak percaya.
I am serious, Valerie. Aku akan mengenalkanmu pada Robert. My future husband.
 
*********
Written by : Johana Melisa

No comments:

Post a Comment