“Don’t wanna be misunderstood, But I’m
starting to believe that this could be the start of something good – Daughtry”
-------------------------------------------------------------------------------------------
Jari-jari lentik itu
menyentuh ujung benda berbentuk bola kaca, di dalamnya berdiri sebuah patung
beruang mungil berwarna cokelat, lengkap dengan baju berwarna biru gelap
menutupi hampir seluruh tubuhnya. Diputarnya perlahan benda itu dan terdengar
suara alunan musik merdu yang memenuhi isi ruangan dengan lembut.
Ia ingat bagaimana
alunan musik itu pernah singgah di kedua telinganya nyaris setiap malam, di
ruangan sebelah kamar tidurnya. Waktu itu, mungkin segalanya berjalan seperti
biasa. Kehidupannya, kehidupan dia, dan alunan musik itu.
Valerie menghembuskan
napasnya yang tiba-tiba terasa berat. Ia meletakkan benda tersebut, kemudian
mengitari toko seperti yang pertama kali dilakukannya, sebelum benda itu
mengalihkan pandangannya.
“Hai, Lora!” Valerie
menyapa wanita separuh baya yang baru saja membuka pintu masuk dengan gesit.
Dengan kacamata bulat
yang bertengger di bawah tulang hidungnya, Lora tersenyum, ia menepuk-nepukkan
kedua tangannya yang basah di celemek yang dikenakannya, kemudian meremas pelan
pundak Valerie. “Aku baru saja menyiram tanaman di luar tadi. Pagi ini bunga
yang kutanam sepertinya bermekaran. Senang sekali. Ah, ya! Apa kabarmu, Nak?”
Valerie menyunggingkan
senyumnya, “Masih dengan kabar yang sama, aku baik, Lora,” kemudian ia meraih
Lora dalam pelukan singkat.
“Sudah nyaris berbulan-bulan
kau tidak ke sini,” Lora menaikkan sebelah alisnya. “Duduklah di sana, akan
kubuatkan kau teh manis, dan kita akan bercerita,” Lora menunjuk sebuah kursi
di luar toko miliknya.
Valerie mengangguk
mengiyakan. Sementara ia mengamati Lora yang sudah menghilang dari
pandangannya, ia membalikkan badan dan berjalan ke kursi yang ditunjuk wanita
itu. Valerie duduk di sana, meletakkan ponsel yang sedari tadi digenggamnya di
atas meja kayu bercat putih.
Melanie’s
Dream, nama toko mungil milik Lora. Segala benda yang
berfungsi sebagai pencipta memori dijualnya sejak beberapa tahun silam. Lora
memiliki seorang anak perempuan bernama Melanie. Melanie kecil menyukai
benda-benda seperti kotak musik, piringan hitam, figura, kertas lipat, boneka,
dan benda-benda lain yang kebanyakan orang memberikannya sebagai hadiah ulang
tahun, hadiah pernikahan, hadiah persahabatan, atau sekedar koleksi.
Sebuah kanker ganas
menggerogoti tubuhnya dan Melanie meninggal di sebuah rumah sakit saat usianya
menginjak 16 tahun. Dan Lora membuka usaha kecil bersama dengan suaminya,
menjual barang-barang yang disukai anak remaja seusia anaknya, berharap bahwa
Melanie dapat melihat dan menyukainya juga.
Ingatannya seketika
kembali pada detik di mana ponselnya berbunyi sekilas. Sebuah pesan singkat
masuk dan tertera di layar ponsel Valerie. From:
Ernest. Ia menimbangnya sejenak untuk membuka pesan itu, namun kedatangan
Lora membuatnya memilih untuk mengunci layar ponselnya.
Valerie tersenyum
menyambut kedatangan Lora dan secangkir teh manis yang dibawakan. Aroma teh
menguar di depan hidungnya saat ia meneguk perlahan isi cangkirnya. Sejenak, ia
melirik singkat pada ponselnya yang berbunyi pelan lagi.
“Ernest?” tebak Lora.
“Well, ya. A pathetic like me
should never accept his love from the very beginning,” gumamnya.
“Don’t be,” Lora menggenggam tangannya perlahan. “Tell me the story, Val. Try me.”
***
“Bisa tidak kau
berhenti memegang ponselmu sementara kau mendengar ceritaku?” gerutu Deirdre.
Valerie tertawa kecil.
“Bisa, tunggu sebentar,” ia memasang wajah pura-pura serius, sementara
jari-jarinya dengan lincah membalas pesan singkat di salah satu aplikasi
ponselnya.
“Alerie….,” Deirdre
memanggilnya dengan sebutan seperti itu bila dia sedang kesal.
Ia meletakkan ponselnya
dengan sigap di atas meja, melipat kedua tangannya dan mencondongkan tubuhnya
ke arah Deirdre. “Yes, my Pretty Sister.
Cerita apa?” tanyanya.
Deirdre memutar bola
matanya. “Ernest. Ini tentang dia,” ujarnya.
Valerie mengarahkan
pandangan ke wajah Deirdre. Melihat Deirdre hampir sama seperti melihat
dirinya, kecuali cara Deirdre merias wajahnya yang sudah cantik itu, dan tentu
saja, usia Deirdre yang lebih tua setahun darinya. Sinar wajah Deirdre saat
membicarakan Ernest seharusnya ceria seperti biasanya, tapi kali ini, sinar
wajahnya seolah meredup.
“Aku memutuskannya.”
Kedua bola mata Valerie
membulat tak percaya. “Kenapa? Ada apa?”
Deirdre mengangkat
bahu.
“Kau tidak
mencintainya?”
“Bukan.”
“Dia mencintai orang
lain?”
“Bukan juga,” Deirdre
menimbang sejenak. “Ya, bisa saja.”
“Dia selingkuh? Begitu
katamu?”
“Tidak juga.”
Valerie menggerutu.
“Yang mana yang benar?”
“Yang benar adalah
tidak ada lagi nama Ernest di sini,” Deirdre mengangkat ponselnya, menyentuh
dadanya, kemudian menunjuk pelipisnya. “Tidak ada.”
“Kau yakin?”
“Yeah, kau tidak
mengenalnya. Ernest. Kau tidak kenal,” jawab Deirdre. “Tidak seperti aku
mengenalmu dan Dave.”
“Jangan mengungkit
Dave,” potong Valerie.
“Kau masih berhubungan
dengan Dave, kan?”
Giliran Valerie yang
mengangkat bahu. Tapi ia mengangguk. “Masih, tapi tidak seperti yang kau lihat.
Mengerti?”
“Kapan aku pernah
mengerti hubungan percintaanmu?”
Ia dan Deirdre tertawa
bersama.
***
Beberapa bulan setelah
pembicaraannya dengan Deirdre waktu itu seakan segala sesuatu berjalan dengan
normal. Kecuali pikirannya tentang Dave.
“Ada
yang ingin kubicarakan,” begitu katanya pada Dave.
Sepasang
bola mata cokelat terang itu balik memandangnya lurus-lurus. “Ya?”
“Berkenalan
denganmu adalah hal yang tak pernah kulupakan, tapi kupikir, meneruskan sesuatu
yang tidak mungkin bisa bersatu adalah sia-sia. Jadi bagaimana kalau kita
memulainya sebagai teman, Dave?”
Valerie mengerjapkan
matanya, berusaha menghilangkan segala peristiwa yang telah menjadi memorinya
kini. Berharap keputusannya benar meski setiap kali ia mengingat tentang Dave
yang muncul adalah sebuah rasa perih di hatinya. Namun, apapun yang menjadi
keraguannya saat itu telah berubah menjadi suatu kepastian.
***
Dan kehadiran Ernest
yang tak pernah diduganya.
“Di mana aku
mengenalmu?” Valerie mengerutkan dahinya. Ia berada di sebuah kafe kecil dekat
rumahnya, di hadapannya duduk seorang pria bernama Ernest. Pria itu adalah pria
yang sama yang diceritakan Deirdre. Lalu entah bagaimana ceritanya, ia dan
Ernest duduk berhadapan dengan dua gelas berisi es krim di hadapan mereka.
Ernest mengangkat bahu
dengan ringan. “Beberapa tahun yang lalu—mungkin.”
Valerie tertawa. “Kau
yakin?”
“Saat aku ke rumahmu
atau mengantar Deirdre pulang, aku melihatmu berjalan ke arah rumah, menyapa
pun tidak. Tapi kupikir, saat itu kita sudah saling mengenal?” Ernest balik
bertanya.
Valerie memiringkan
wajahnya, “Bisa jadi,” ia bergumam.
Pertemuan itu berlanjut
hingga ia tak tahu bagaimana semuanya berawal.
“Kau yakin kau lebih
suka menonton ini?” Ernest dengan t-shirt
hitamnya hari itu mengajaknya menonton film.
Valerie menoleh pada
Ernest yang duduk di sebelahnya. “Aku sudah menonton film yang lain dan kupikir
kita tidak punya pilihan.”
Lalu, kemudian hari,
Ernest dengan t-shirt birunya. “Kau
mau makan malam di mana?”
“Tidak tahu,” jawab
Valerie, “Kau yang masak,” celetuknya.
“You kidding me?”
“I’m not.”
“Alright, whatever u wants,” dan jawaban Ernest berhasil membuatnya
heran.
Valerie menemukan bahwa
tak ada hari yang terlewati tanpa kehadiran Ernest. Tanpa sengaja tangannya
membalas setiap pesan yang dikirim, tersenyum pada segala sesuatu mengenai pria
itu.
“Just be mine, Valerie,” kalimat itu terucap dari mulut Ernest
begitu tiba-tiba, begitu cepat.
***
Perkataan Ernest
terngiang di kepalanya saat setiap kali ia mengingat Deirdre. Ketika
perasaannya menyambut kedatangan Ernest, ia tahu ia harus mempersiapkan
dirinya. Untuk Deirdre. Untuk Dave. Dan untuknya.
Sebuah suara benda
pecah terdengar dari sebelah kamarnya, dari arah kamar Deirdre. Ia bahkan tak
perlu menduga, sejak tadi ia telah berdiri di depan pintu kamar kakaknya itu.
Ia mengetuk perlahan pintu kamar Deirdre. Satu menit. Dua menit. Tidak ada
jawaban.
“Deir,” bersamaan
dengan ia mengucapkan nama Deirdre, pintu terbuka dengan kasar.
Valerie melangkah
masuk, ia melihat sebuah benda menyerupai bola kaca namun telah hancur bersama
dengan isinya. Benda itu pemberian Ernest.
“Selamat,” ucap Deirdre
dingin.
Valerie menoleh ke asal
suara. Ia tak dapat melihat jelas wajah Deirdre dalam cahaya lampu kecil di
samping tempat tidur Deirdre. Di tempat tidur itu, ia dan Deirdre pernah
bercerita tentang Ernest, tentang bagaimana Ernest dan Deirdre merencanakan
segala hal bersama-sama, tentang apa pun.
“Don’t say,” Valerie menjawab.
“Just let me say it out loud. Congratulation to you—both of you.”
“You may judge, I won’t stop you. Aku tahu apa yang kau pikirkan
tentang Ernest dan—”
“Bagaimana dengan
Dave?”
Valerie terdiam.
“Kau memutuskannya, ah?
Demi Ernest?”
Nada suara Deirdre
sedingin es, seakan tak ada yang bisa ia lakukan kecuali membiarkan Deirdre
menumpahkan emosinya.
“Mempermainkan Dave?
Sejak kapan kau mengenal Ernest? Saat malam di mana aku pernah menceritakan
tentang kami? Saat aku berkata
padamu, aku memutuskannya, dan ia mendekatimu? Saat kau—memilih Ernest dan
mengakhiri hubunganmu dengan Dave? Yang mana? Saat Dave bercerita dan
meneleponku tentangmu. When his heart was
broken, you smile with him.”
Dan begitulah
pembicaraannya berakhir dengan Deirdre.
***
Katakan saja bahwa
cinta tidak memilih maupun memihak.
Valerie melipat kertas
berwarna merah, membentuknya menjadi segitiga, melipatnya kembali hingga
membentuk segitiga yang lebih kecil. Namun pikirannya berkecamuk hingga ia
menghentikan aktivitasnya.
Seseorang
menghampirinya. “Apa yang kau lipat?”
“A bird.”
“Red bird.”
“The strong one.”
“Can fly?”
“Hope so,” Valerie tersenyum tipis.
“Hey,” Ernest
memanggilnya perlahan. “Kau baik-baik saja?”
“Ya, seperti yang kau
lihat,” jawab Valerie.
“Bagaimana dengan
Deirdre?”
Valerie menggeleng. “Ia
tak lagi mengungkitnya sejak pembicaraan kami yang terakhir,” ia mendesah, “I don’t know when my feeling towards you
come and become so fast until everyone not agree with this,” lanjutnya.
“They will, they just need a time,” balas Ernest, “I’m
so sorry for making you take this risk.”
Valerie mengangkat
wajahnya dan memandang pria di hadapannya. Ernest tersenyum dan entah mengapa,
senyum itu membuat hatinya cukup tenang.
Ia berharap bahwa
masa-masa tegang dirinya dan Deirdre segera menghilang, ia tidak mengharapkan
Deirdre mendukung dirinya, namun perasaannya sayangnya sebagai seorang adik
tidak pernah hilang meskipun Deirdre membencinya.
Ketika minggu demi
minggu berjalan dan Deirdre masih tetap dalam diamnya, ia dan Ernest hampir
saja menyerah untuk berharap.
“From this moment on, we talk about us and our happiness. So we won’t be
overshadowed by this again,” kata Ernest.
“Ernest,” panggil
Valerie.
“Ya?”
“Deirdre akan pergi ke
Kanada. Dia bilang padaku bahwa ia mendapat pekerjaan di sana dan akan tinggal
di sana untuk sementara waktu. Apakah dia menghindar?”
“Kanada?” Ernest
mengulang setengah kaget.
Valerie mengerjapkan
matanya ke arah Ernest. “Ya. Ada apa?”
Ernest menggeleng. “Will you be okay?”
“Menurutmu?”
***
“What do you think, Lora?” Valerie menyandarkan tubuhnya ke kursi
yang juga bercat putih. Panas pagi hari sudah berganti cukup terik setelah ia
selesai bercerita. Lora mendengarnya seperti seorang sahabat lama, keduanya
jarang bertemu namun sering bertukar cerita. Lora bilang ia menganggap dirinya
dan Deirdre seperti anaknya, karena itulah Lora nyaris mengetahui hampir
menyeluruh tentang kehidupan mereka.
“Ernest dan Deirdre
serta kau dan Ernest adalah dua hal yang berbeda. Yang menjalani adalah dirimu
sendiri dengan segala kesadaran yang kau miliki. Tidak ada yang bisa bilang itu
salah maupun benar. Sebab suatu masalah tidak dilihat dari dua sisi saja,
melainkan melihatnya dari reaksi,” jelas Lora.
Valerie mengangguk. “Aku
terus memikirkannya. Setiap kali aku melihat Deirdre, kami seakan memulai
percakapan dengan canggung. Mencuri pandang dengan canggung. Dan setiap kali
aku melihat Ernest, kadang kala aku membayangkannya sedang bersama dengan
Deirdre, dan itu membuatku ragu.”
“Kepercayaan adalah
masalah waktu. Begitu pula masa depan. Bukankah kau bisa menciptakan masa depan
dengan keinginanmu saat ini?”
Valerie memasang senyum
di wajahnya. “Aku dan Ernest sedang merencanakan hal ini.”
Lora mencondongkan
tubuhnya, meraih tangan Valerie dan menggenggamnya perlahan. “This is what friends are for.”
Ponsel Valerie berbunyi
sekali lagi, tapi bunyi itu merupakan panggilan dari Ernest. Valerie menatap
Lora sejenak. Lora memberi isyarat dengan menggerakan bola matanya ke arah
ponsel agar ia mau mengangkatnya.
“Halo?”
“Sampai kapan kau mau
mengacuhkan pesanku?”
Valerie tertawa kecil. “Aku
sedang berbicara dengan Lora,” Valerie menjawab.
“Ya, aku tahu. Aku tepat
di belakangmu.”
Belum sempat ia menoleh
ke belakang, sepasang tangan yang sudah dikenalnya meraihnya dalam pelukan
singkat. “Ernest!” serunya terkejut.
“Halo,” sapanya.
Ernest mengambil tempat
di kursi kosong, di antara dirinya dan Lora. “Hai, Lora, apa kabarmu?”
“Senang bertemu
denganmu lagi, Ernest. Kabarku baik,” Lora tersenyum.
Ernest mengeluarkan
sebuah amplop berukuran setengah halaman kertas folio, di atasnya tertulis ‘To : Mr. & Mrs. Wiliams’ dengan cetakan
tinta berwarna emas.
“Undangannya sudah
jadi, dan kau orang kedua yang menerimanya, Lora,” kata Ernest.
Valerie menoleh ke arah
Ernest. “Kau tidak mengatakannya dulu padaku, aku baru saja hendak bercerita
tentang kelanjutannya,” Valerie memprotes.
“Deirdre bahkan sudah
menerimanya lebih dulu,” Ernest tertawa lebar.
“Kau bilang apa?” suaranya meninggi. Lalu ponselnya kembali berbunyi
lagi.
“Hello, my Little Sister, congratulation,” ini ucapan selamat dari
Deirdre yang kedua, namun diucapkan dengan nada yang jauh berbeda.
“Deirdre!” serunya.
Suara tawa terdengar di
seberang sana. “Aku sudah membeli tiket pulang. Aku akan datang. Sampaikan salamku
pada Ernest.”
“Kau bercanda?” Valerie
bertanya tak percaya.
“I am serious, Valerie. Aku akan mengenalkanmu pada Robert. My future husband.”
*********
No comments:
Post a Comment