Mosaic Rile: Cerita Sang Pangeran

Saturday, October 11, 2014

Cerita Sang Pangeran


 
“Musim dingin kala itu menjadi kenangan terindah yang pernah kualami. Dinginnya salju terkadang dihangatkan olehnya, dengan seulas senyum dan sorot mata cerianya, membuatku tak sanggup lupa padanya.
“Aku sering memeluknya, kala salju itu turun membasahi pundaknya. Tempat kami adalah tempat satu-satunya yang selalu sepi, pemandangannya begitu indah. Aku bisa membayangkannya walau aku tak lagi di sana. Sungainya selalu beku, seperti hamparan es dan anak kecil bisa berlari-lari di atasnya. Bangku panjang yang selalu kami tempati mengarah ke arah sungai itu, tepat di jembatannya. Sebelah kami lampu yang tinggi dan terang bila dinyalakan, berwarna kuning keemasan yang menyorot ke arah sungai. Tempat itu… seperti Surga.

“Aku selalu berharap waktu tak akan pernah berjalan saat kita bersama, aku berharap tak ada kenyataan, tak ada pula impian. Yang kuinginkan hanyalah, dia tetap di sampingku, dengan tawa dan suaranya yang menggelitikku untuk terus menyayangi dia.
“Aku ingin sekali melihat senyumnya saat ini. Rasanya kami begitu dekat, tapi anehnya kami tak bisa saling menyentuh, kami tak bisa saling berpandangan. Aku, amat tersiksa.
“Aku mencoba untuk menyayanginya, tapi tidak mencintainya. Aku dapat melihat jelas kepedihan yang terpancar di wajahnya, saat dia menatapku, saat dia tak mampu lagi berkata-kata… karena sepertinya, kesedihan ini membuatnya diam, bisu.
“Ingin rasanya aku menghentikan kenyataan yang membuat duniaku bisu seketika. Dia adikku, adik kandungku yang baru kuketahui setelah kami beranjak dewasa, setelah ada perasaan cinta terlarang yang merasuki jiwa kami masing-masing.
“Aku bertemu dengan ayahnya yang ternyata adalah ayah kandungku. Aku hidup dan tinggal bersama dengan ibuku saat usiaku masih sangat kecil. Ayahku menikah lagi dengan seorang wanita lain dan memiliki seorang anak perempuan dari hasil pernikahan mereka. Aku begitu sakit hati, saking sakitnya hingga aku tak mampu berdiri.
“Aku tahu apa yang dia rasakan saat itu. Saat semua kenyataan itu terungkap dari mulutku sendiri. Aku bilang padanya kalau aku dan dia adalah saudara kandung, satu ayah. Aku tahu dunianya langsung gelap seketika, tak berbeda denganku. Aku dan dia saling mencintai, kami menjalaninya dengan baik, kami hampir menikah. Tapi bahkan, untuk mencintai saja kami tidak boleh.
“Aku melihatnya menangis di sampingku, aku ingin memeluknya, tapi rasanya ada dinding tak terlihat di sekeliling kami. Aku tak berani lagi menyentuhnya, aku bahkan tak bisa bersuara ketika dia menangis dengan suara yang amat memilukan. Dan bodohnya, aku tak tinggal di sampingnya untuk menenangkannya. Aku pergi, hanya untuk membuat hatiku beku.
“Sebeku salju di musim dingin… di London. Rasa ini membuatku mati. Tak mampu lagi untuk menangis, tak mampu lagi untuk marah, tak mampu lagi untuk menyesal… bahkan mungkin untuk dirinya… dia tak mampu tersenyum lagi. Seolah dia marah pada kenyataan yang memaksanya harus berhenti mencintai. Aku tahu perasaan itu, aku tahu.
“Aku berusaha untuk tidak menyesal, aku berusaha untuk menganggapnya sebagai adik kandungku, untuk tetap terus menyayangi dan melindunginya. Aku berusaha mengepalkan tanganku kuat-kuat, untuk tak lagi memeluk tubuhnya, untuk tak lagi membelai rambutnya, atau menghapus air matanya.
“Kosong…, ya. Hampa…, ya. Ukiran itu telah terlukis di hatiku, aku tak mampu menghilangkan cinta yang sudah bersemayam dalam diriku. Tidak…., tidak. Atau aku tidak mau? Entahlah…, aku hanya ingin dia tersenyum kembali, menatapku tanpa ada rasa cinta yang terlukis di bola matanya.
“Sepertinya aku menyiksanya terlalu lama. Tapi waktu tak pernah bicara banyak padaku. Aku selalu bertanya-tanya…, kapan kami akan tersenyum seperti dulu, tanpa cinta? Atau, haruskah aku pergi untuk membuatnya tak perlu lagi menghindariku?
“Sampai saat ini, aku tak mampu berhenti mencintainya. Dia senantiasa menempati tempat pertama di hatiku, Gadis Musim Dingin.”

“Pangeran?”
“Julio, kakakku.”
“Gadis Musim Dingin?”
“Aku.”

***
Aku duduk di sebuah cafe terpencil di ujung kota Canterbury, Inggris. Memandang orang-orang berwajah merah merona dengan sweater tebal berjalan di luar. Aku bisa merasakan napasku sendiri yang dingin. Musim salju di kota ini membuatku mati rasa.
“Hai,” seorang pria dengan senyumnya yang khas berjalan menghampiriku.
Aku balas tersenyum padanya. “Duduklah,” ujarku.
“Apa kabar, Melinda?” tanya pria itu.
“Aku baik. Aku baru saja mendapat izin dari bos-ku di London, untunglah aku masih sempat mengunjungimu,” jelasku.
“Beryl…?” dia bergumam.
“Kau sangat ingin tahu tentangnya?”
Dia mengangguk padaku. Aku mengingat-ingat perkataan Beryl, dan mulai menceritakan padanya, “Dia menyebutmu Pangeran… surat itu…, ada di tangannya sekarang. Dia masih tidak bisa melupakanmu.”
“Apa dia masih bisa tersenyum?”
“Ya, senyumnya manis sekali. Kau masih ingat? Lesung pipinya hanya satu, di sebelah kiri.”
“Ya, aku ingat. Aku bisa melihatnya tersenyum sekarang,” ujarnya, “Dan bagaimana bentuk surat itu, Melinda?”
“Terlipat rapi sekali, empat bagian, diletakkan di kotak berwarna merah marun.”
“Dia tidak berubah…, dia masih mengingatku. Yakinkan dia, Melinda, bahwa aku sudah mati,” katanya tegas.
“Kenapa, Julio? Walau dia berpikir kau sudah meninggal, tidak ada salahnya kan dia mengenangmu? Mengenang segala barang pemberianmu,” bantahku.
“Buanglah surat itu, aku tidak ingin dia menemukan sesuatu yang lain di kamar apartemenku dulu. Buat dia lupa padaku.”
“Kau egois,” sergahku, “Kau menyuruhnya untuk lupa padamu, tapi kau tidak. Bahkan di hatimu masih ada cinta. Aku tahu kau tidak bisa menerima hubungan kalian, tapi di dalam diri kalian mengalir darah yang sama, dan kau bertugas untuk menjaganya. Lima tahun berlalu, cintanya sudah padam, Julio,” tegasku panjang lebar.
“Apa aku memang tidak boleh egois sedikit, Melinda? Aku tidak bisa lupa padanya, dan biar saja rasa ini aku yang menanggungnya. Dia harus segera melupakanku, agar dia bisa terlepas dari semua ini,” balas Julio.
Aku mendesah, “Baiklah.”
“Dia masih bekerja di London, kan?” tanya pria itu.
Aku menatapnya, berusaha untuk mengatakan tujuan hidup Beryl sekarang. Aku menghela napas, “Dia pindah ke sini.”
Apa?!”
“Dengar dulu, Julio!” potongku, “Tidak, dia tidak tahu semuanya mengenaimu. Dia pindah ke sini untuk menjadi biarawati.”
“Biarawati?”
“Demi kau. Karena dia masih mencintaimu, dan dia bilang…, kalau kau sudah pergi, maka dia tak akan mencari penggantimu.”
Aku melihat Julio mengepalkan tangannya. Aku tahu dia sedih, aku tahu Julio berpikir Beryl menyerah atas cinta dalam hidupnya, sama sepertiku.
“Aku… aku tidak tahu harus berkata apa…,” Julio bergumam lirih.
Aku menunduk, tak berani memandangnya, ingin sekali menutup telinga karena suaranya membuatku turut merasakan kesedihannya.
“Julio,” sebuah suara yang sangat kukenal membuatku terperanjat. Beryl berdiri di dekat meja kami, dengan tangis yang membanjiri wajahnya.
“Beryl??” Julio bergumam tanpa menatap Beryl.
Aku melihat Beryl langsung menyerbu Julio dalam sebuah pelukan, lama sekali momen itu terjadi. Aku memalingkan wajahku, tak sanggup melihat sepasang saudara yang tersiksa selama bertahun-tahun.
“Boleh kan aku memelukmu? Aku kangen padamu, jangan pergi, Julio….”
“Aku bukan Julio,” bantahnya, rahangnya mengeras. Julio mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Jangan bilang Julio sudah mati, kau tidak bisa membohongiku, Julio ada di dekatku sekarang. Sudah lama, Julio, perasaan ini membuatku tersiksa. Tapi bolehkah aku terus mencintaimu, sebagai seorang adik yang butuh perlindungan kakak laki-lakinya?” tanya Beryl dengan amat pelan, suaranya membuat air mataku turun.
Tak ada jawaban dari Julio. Beryl melepas pelukannya, dia menyentuh wajah Julio dengan tangannya yang mungil, “Julio…, kau masih ingat padaku, kan?”
Julio menggeleng pelan, “Maaf, Beryl. Aku tidak ingin mengingat semua ini,” katanya. Itulah perkataan terakhirnya dan dia beranjak pergi keluar dari cafe.
Beryl berusaha mengejarnya, tapi kakinya tak mampu menopang tubuhnya. Dia menangis dengan keras. Gadis itu berlutut, menutup mulutnya, derai air mata mengalir deras, membasahi wajahnya yang merah merona karena hawa dingin.
Aku maju dan memeluknya. Tangisnya membuatku merinding. Aku marah pada Julio, aku marah karena dia tidak bisa menerima kenyataan, karena cintanya yang terlalu dalam pada Beryl hingga sulit dihapuskan.
“Kenapa Julio berbeda, Melinda? Kenapa Julio tidak mau menerimaku sebagai adiknya? Kenapa…?” Beryl bertanya di sela-sela tangisannya. Tapi aku tidak menemukan sedikitpun jawaban yang bisa meringankan bebannya.

***
Kami terkejut saat mendapati Julio tergeletak di jalan raya, dengan darah yang berlumuran di sekitar wajah, tangan, dan lututnya. Dengan segera Julio dibawa ke rumah sakit terdekat, dirawat hingga berjam-jam lamanya.
Julio menyeberang jalan pada saat beberapa menit setelah ia pergi dari cafe. Di tengah jalan seorang pengemudi mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, dan saat itu kecelakaan terjadi.
Kami menantinya di ruang tunggu rumah sakit. Jantungku berdegup kencang, menanti setiap berita dari ruang gawat darurat itu. Julio, sekarat di dalam, antara hidup dan mati. Aku tahu Julio pasti sengaja ingin pergi dari dunia ini. Sudah dua kali. Yang pertama gagal, karena aku mengetahuinya saat ia berencana menjatuhkan dirinya dari lantai apartemen. Dan ini yang kedua kalinya, aku tidak tahu bagaimana harus membuat Julio tidak putus asa.
Dokter memanggil kami ke dalam, ke ruangan tempat Julio dirawat. Aku melihat monitor kecil yang menandakan kestabilan kerja jantung Julio, dan itu amat lemah. Dan perkataan dokter yang datar dan berkata bahwa pihaknya telah menyerah karena Julio kehabisan banyak darah.
“Julio…, kau boleh merasa putus asa, kau boleh marah pada takdirmu, kau boleh tetap mencintai Beryl. Tapi kau tidak boleh bunuh diri. Kenapa, Julio? Tidakkah kau tahu aku senantiasa menunggumu menyadari bahwa aku mencintaimu, tidak peduli bagaimana keadaanmu, bagaimana rasa cintamu,” aku berseru dalam hati, sambil mengenggam tangan Julio yang tak bergerak sedikitpun.
Lalu kemudian layar monitor itu berbunyi, sesuatu di dalamnya membentuk garis lurus berwarna hijau, sesekali tampak naik, dan akhirnya benar-benar membentuk garis lurus. Aku tak ingat bagaimana caranya aku bisa keluar dari kamar rumah sakit itu, bersama dengan Beryl yang bahkan tidak bisa berkata-kata.
Aku memeluk Beryl saat gadis itu berkata bahwa kakaknya teramat egois.
“Tidak, dia pergi agar kita melupakannya,” kataku perlahan.
Kami memang menangis saat ini. Tapi suatu saat nanti, kami mungkin bisa melupakan cinta ini. Kami bisa tetap mengingat Julio yang berkorban demi orang-orang yang dicintainya. Kami bisa mengingat Julio yang menanggung semua perih dan luka ini agar Beryl bisa bahagia. Suatu saat nanti kami akan tersenyum. Mengingat Julio dan ceritanya tanpa ada rasa perih lagi….

***
 
Written by: Johana Melisa

No comments:

Post a Comment