“Musim
dingin kala itu menjadi kenangan terindah yang pernah kualami. Dinginnya salju
terkadang dihangatkan olehnya, dengan seulas senyum dan sorot mata cerianya,
membuatku tak sanggup lupa padanya.
“Aku
sering memeluknya, kala salju itu turun membasahi pundaknya. Tempat kami adalah
tempat satu-satunya yang selalu sepi, pemandangannya begitu indah. Aku bisa membayangkannya
walau aku tak lagi di sana. Sungainya selalu beku, seperti hamparan es dan anak
kecil bisa berlari-lari di atasnya. Bangku panjang yang selalu kami tempati
mengarah ke arah
sungai itu, tepat di jembatannya. Sebelah kami lampu yang tinggi dan terang
bila dinyalakan, berwarna kuning keemasan yang menyorot ke arah sungai.
Tempat
itu… seperti Surga.
“Aku selalu berharap waktu tak akan pernah berjalan
saat kita bersama, aku berharap tak ada kenyataan, tak ada pula impian. Yang kuinginkan
hanyalah, dia tetap di sampingku, dengan tawa dan suaranya yang menggelitikku
untuk terus menyayangi dia.
“Aku ingin sekali melihat senyumnya saat ini. Rasanya kami
begitu dekat, tapi anehnya kami tak bisa saling menyentuh, kami tak bisa saling
berpandangan. Aku, amat tersiksa.
“Aku mencoba untuk menyayanginya, tapi tidak
mencintainya. Aku dapat melihat jelas kepedihan yang terpancar di wajahnya,
saat dia menatapku, saat dia tak mampu lagi berkata-kata… karena sepertinya,
kesedihan ini membuatnya diam, bisu.
“Ingin rasanya aku menghentikan kenyataan yang membuat
duniaku bisu seketika. Dia adikku, adik kandungku yang baru kuketahui setelah
kami beranjak dewasa, setelah ada perasaan cinta terlarang yang merasuki jiwa
kami masing-masing.
“Aku bertemu dengan ayahnya yang ternyata adalah ayah
kandungku. Aku hidup dan tinggal bersama dengan ibuku saat usiaku masih sangat
kecil. Ayahku menikah lagi dengan seorang wanita lain dan memiliki seorang anak
perempuan dari hasil pernikahan mereka. Aku begitu sakit hati, saking sakitnya
hingga aku tak mampu berdiri.
“Aku tahu apa yang dia rasakan saat itu. Saat semua
kenyataan itu terungkap dari mulutku sendiri. Aku bilang padanya kalau aku dan
dia adalah saudara kandung, satu ayah. Aku tahu dunianya langsung gelap
seketika, tak berbeda denganku. Aku dan dia saling mencintai, kami menjalaninya
dengan baik, kami hampir menikah. Tapi bahkan, untuk mencintai saja kami tidak
boleh.
“Aku melihatnya menangis di sampingku, aku ingin
memeluknya, tapi rasanya ada dinding tak terlihat di sekeliling kami. Aku tak
berani lagi menyentuhnya, aku bahkan tak bisa bersuara ketika dia menangis
dengan suara yang amat memilukan. Dan bodohnya, aku tak tinggal di sampingnya
untuk menenangkannya. Aku pergi, hanya untuk membuat hatiku beku.
“Sebeku salju di musim dingin… di London. Rasa ini
membuatku mati. Tak mampu lagi untuk menangis, tak mampu lagi untuk marah, tak
mampu lagi untuk menyesal… bahkan mungkin untuk dirinya… dia tak mampu
tersenyum lagi. Seolah dia marah pada kenyataan yang memaksanya harus berhenti
mencintai. Aku tahu perasaan itu, aku tahu.
“Aku berusaha untuk tidak menyesal, aku berusaha untuk
menganggapnya sebagai adik kandungku, untuk tetap terus menyayangi dan
melindunginya. Aku berusaha mengepalkan tanganku kuat-kuat, untuk tak lagi
memeluk tubuhnya, untuk tak lagi membelai rambutnya, atau menghapus air
matanya.
“Kosong…, ya. Hampa…, ya. Ukiran itu telah terlukis di
hatiku, aku tak mampu menghilangkan cinta yang sudah bersemayam dalam diriku. Tidak….,
tidak. Atau aku tidak mau? Entahlah…, aku hanya ingin dia tersenyum kembali,
menatapku tanpa ada rasa cinta yang terlukis di bola matanya.
“Sepertinya aku menyiksanya terlalu lama. Tapi waktu
tak pernah bicara banyak padaku. Aku selalu bertanya-tanya…, kapan kami akan
tersenyum seperti dulu, tanpa cinta? Atau, haruskah aku pergi untuk membuatnya
tak perlu lagi menghindariku?
“Sampai saat ini, aku tak mampu berhenti mencintainya.
Dia senantiasa menempati tempat pertama di hatiku, Gadis Musim Dingin.”
“Pangeran?”
“Julio,
kakakku.”
“Gadis
Musim Dingin?”
“Aku.”
***
Aku
duduk di sebuah cafe terpencil di
ujung kota Canterbury, Inggris. Memandang orang-orang berwajah merah merona
dengan sweater tebal berjalan di
luar. Aku bisa merasakan napasku sendiri yang dingin. Musim salju di kota ini
membuatku mati rasa.
“Hai,”
seorang pria dengan senyumnya yang khas berjalan menghampiriku.
Aku
balas tersenyum padanya. “Duduklah,” ujarku.
“Apa
kabar, Melinda?” tanya pria itu.
“Aku
baik. Aku baru saja mendapat izin dari bos-ku di London, untunglah aku masih
sempat mengunjungimu,” jelasku.
“Beryl…?”
dia bergumam.
“Kau
sangat ingin tahu tentangnya?”
Dia
mengangguk padaku. Aku mengingat-ingat perkataan Beryl, dan mulai menceritakan
padanya, “Dia menyebutmu Pangeran… surat itu…, ada di tangannya sekarang. Dia masih
tidak bisa melupakanmu.”
“Apa
dia masih bisa tersenyum?”
“Ya,
senyumnya manis sekali. Kau masih ingat? Lesung pipinya hanya satu, di sebelah
kiri.”
“Ya,
aku ingat. Aku bisa melihatnya tersenyum sekarang,” ujarnya, “Dan bagaimana
bentuk surat itu, Melinda?”
“Terlipat
rapi sekali, empat bagian, diletakkan di kotak berwarna merah marun.”
“Dia
tidak berubah…, dia masih mengingatku. Yakinkan dia, Melinda, bahwa aku sudah
mati,” katanya tegas.
“Kenapa,
Julio? Walau dia berpikir kau sudah meninggal, tidak ada salahnya kan dia
mengenangmu? Mengenang segala barang pemberianmu,” bantahku.
“Buanglah
surat itu, aku tidak ingin dia menemukan sesuatu yang lain di kamar apartemenku
dulu. Buat dia lupa padaku.”
“Kau
egois,” sergahku, “Kau menyuruhnya untuk lupa padamu, tapi kau tidak. Bahkan di
hatimu masih ada cinta. Aku tahu kau
tidak bisa menerima hubungan kalian, tapi di dalam diri kalian mengalir darah
yang sama, dan kau bertugas untuk menjaganya. Lima tahun berlalu, cintanya
sudah padam, Julio,” tegasku panjang lebar.
“Apa
aku memang tidak boleh egois sedikit, Melinda? Aku tidak bisa lupa padanya, dan
biar saja rasa ini aku yang menanggungnya. Dia harus segera melupakanku, agar
dia bisa terlepas dari semua ini,” balas Julio.
Aku
mendesah, “Baiklah.”
“Dia
masih bekerja di London, kan?” tanya pria itu.
Aku
menatapnya, berusaha untuk mengatakan tujuan hidup Beryl sekarang. Aku menghela
napas, “Dia pindah ke sini.”
“Apa?!”
“Dengar
dulu, Julio!” potongku, “Tidak, dia tidak tahu semuanya mengenaimu. Dia pindah
ke sini untuk menjadi biarawati.”
“Biarawati?”
“Demi
kau. Karena dia masih mencintaimu, dan dia bilang…, kalau kau sudah pergi, maka
dia tak akan mencari penggantimu.”
Aku
melihat Julio mengepalkan tangannya. Aku tahu dia sedih, aku tahu Julio
berpikir Beryl menyerah atas cinta dalam hidupnya, sama sepertiku.
“Aku…
aku tidak tahu harus berkata apa…,” Julio bergumam lirih.
Aku
menunduk, tak berani memandangnya, ingin sekali menutup telinga karena suaranya
membuatku turut merasakan kesedihannya.
“Julio,”
sebuah suara yang sangat kukenal membuatku terperanjat. Beryl berdiri di dekat
meja kami, dengan tangis yang membanjiri wajahnya.
“Beryl??”
Julio bergumam tanpa menatap Beryl.
Aku
melihat Beryl langsung menyerbu Julio dalam sebuah pelukan, lama sekali momen
itu terjadi. Aku memalingkan wajahku, tak sanggup melihat sepasang saudara yang
tersiksa selama bertahun-tahun.
“Boleh
kan aku memelukmu? Aku kangen padamu, jangan pergi, Julio….”
“Aku
bukan Julio,” bantahnya, rahangnya mengeras. Julio mengalihkan pandangannya ke
arah lain.
“Jangan
bilang Julio sudah mati, kau tidak bisa membohongiku, Julio ada di dekatku
sekarang. Sudah lama, Julio, perasaan ini membuatku tersiksa. Tapi bolehkah aku
terus mencintaimu, sebagai seorang adik yang butuh perlindungan kakak
laki-lakinya?” tanya Beryl dengan amat pelan, suaranya membuat air mataku
turun.
Tak
ada jawaban dari Julio. Beryl melepas pelukannya, dia menyentuh wajah Julio
dengan tangannya yang mungil, “Julio…, kau masih ingat padaku, kan?”
Julio
menggeleng pelan, “Maaf, Beryl. Aku tidak ingin mengingat semua ini,” katanya. Itulah
perkataan terakhirnya dan dia beranjak pergi keluar dari cafe.
Beryl
berusaha mengejarnya, tapi kakinya tak mampu menopang tubuhnya. Dia menangis dengan
keras. Gadis itu berlutut, menutup mulutnya, derai air mata mengalir deras,
membasahi wajahnya yang merah merona karena hawa dingin.
Aku
maju dan memeluknya. Tangisnya membuatku merinding. Aku marah pada Julio, aku
marah karena dia tidak bisa menerima kenyataan, karena cintanya yang terlalu
dalam pada Beryl hingga sulit dihapuskan.
“Kenapa
Julio berbeda, Melinda? Kenapa Julio tidak mau menerimaku sebagai adiknya? Kenapa…?”
Beryl bertanya di sela-sela tangisannya. Tapi aku tidak menemukan sedikitpun
jawaban yang bisa meringankan bebannya.
***
Kami
terkejut saat mendapati Julio tergeletak di jalan raya, dengan darah yang
berlumuran di sekitar wajah, tangan, dan lututnya. Dengan segera Julio dibawa
ke rumah sakit terdekat, dirawat hingga berjam-jam lamanya.
Julio
menyeberang jalan pada saat beberapa menit setelah ia pergi dari cafe. Di tengah jalan seorang pengemudi
mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, dan saat itu kecelakaan terjadi.
Kami
menantinya di ruang tunggu rumah sakit. Jantungku berdegup kencang, menanti
setiap berita dari ruang gawat darurat itu. Julio, sekarat di dalam, antara
hidup dan mati. Aku tahu Julio pasti sengaja ingin pergi dari dunia ini. Sudah dua
kali. Yang pertama gagal, karena aku mengetahuinya saat ia berencana
menjatuhkan dirinya dari lantai apartemen. Dan ini yang kedua kalinya, aku
tidak tahu bagaimana harus membuat Julio tidak putus asa.
Dokter
memanggil kami ke dalam, ke ruangan tempat Julio dirawat. Aku melihat monitor
kecil yang menandakan kestabilan kerja jantung Julio, dan itu amat lemah. Dan perkataan
dokter yang datar dan berkata bahwa pihaknya telah menyerah karena Julio
kehabisan banyak darah.
“Julio…,
kau boleh merasa putus asa, kau boleh marah pada takdirmu, kau boleh tetap
mencintai Beryl. Tapi kau tidak boleh bunuh diri. Kenapa, Julio? Tidakkah kau
tahu aku senantiasa menunggumu menyadari bahwa aku mencintaimu, tidak peduli
bagaimana keadaanmu, bagaimana rasa cintamu,” aku berseru dalam hati, sambil
mengenggam tangan Julio yang tak bergerak sedikitpun.
Lalu
kemudian layar monitor itu berbunyi, sesuatu di dalamnya membentuk garis lurus
berwarna hijau, sesekali tampak naik, dan akhirnya benar-benar membentuk garis
lurus. Aku tak ingat bagaimana caranya aku bisa keluar dari kamar rumah sakit
itu, bersama dengan Beryl yang bahkan tidak bisa berkata-kata.
Aku
memeluk Beryl saat gadis itu berkata bahwa kakaknya teramat egois.
“Tidak,
dia pergi agar kita melupakannya,” kataku perlahan.
Kami
memang menangis saat ini. Tapi suatu saat nanti, kami mungkin bisa melupakan
cinta ini. Kami bisa tetap mengingat Julio yang berkorban demi orang-orang yang
dicintainya. Kami bisa mengingat Julio yang menanggung semua perih dan luka ini
agar Beryl bisa bahagia. Suatu saat nanti kami akan tersenyum. Mengingat Julio
dan ceritanya tanpa ada rasa perih lagi….
***
Written by: Johana Melisa
No comments:
Post a Comment