Mosaic Rile: Aku yang Selalu Mencintaimu ( Cerpen )

Friday, April 29, 2016

Aku yang Selalu Mencintaimu ( Cerpen )

Aku terduduk di teras depan kamarku, bersandar pada dinding yang berhawa dingin. Suasana malam
itu sama sekali tidak menggugah minatku.Bintang di atas bersinar dengan amat terang, menutupi kegelapan langit yang kian menghitam.

Jarum panjang dan pendek di arlojiku sudah menghujam angka 12 saat ini. Aku mendesah pendek, temyata begitu cepatnya hari yang kulalui saat-saat ini. Sesekali aku menikmati jalannya malam dengan menyempatkan din i duduk mengamati langit di teras.

Pekerjaanku yang kian menumpuk membuatku susah sekali beristirahat, bahkan untuk beberapa menit saja. Aku Vannesa. Aku bekerja di bagian advertising pada sebuah perusahaan majalah. Tugasku mencari iklan ke sana-sini dan terkadang aku merangkap menjadi jumalis atau designer graphic.

Sebenarnya semua itu bukan tugasku, tapi karena bosku begitu mempercayaiku, ia menyerahkan semuanya padaku—apalagi untuk awal bulan, aku selalu saja sibuk, bahkan makan pun tak sempat. Bosku sendiri sedang mencari karyawan baru untuk meringankan bebanku, tapi tak ada satu pun orang yang bisa memenuhi syarat dan keinginan bosku itu. Aku pun terbebani lagi.

Semua itu kujalani nyaris 6 bulan. Kadang-kadang tubuhku seperti membatin pegal, namun semua itu kubiarkan saja. Ingin rasanya pindah dan i kantorku sekarang, namun akankah semudah itu mencari pekerjaan? Aku tidak ingin menjadi pengangguran, aku masih harus membiayai kebutuhan hidup adikku, Joshua. Aku tidak bisa dan aku tidak mau mengecewakan bosku dan hal itu akan membuatku kehilangan pekerjaan.

Malam ini rasa nyeri pada dadaku membuncah tinggi lagi. Aku kesulitan untuk benapas. Hampir setiap saat aku seperti ini, dan semua itu kubiarkan juga. Toh sakit itu juga akan berhenti. Kupikir, hal
itu biasa, aku sendiri terlalu memforsir diriku bila menyangkut pekerjaan.

*******



Gedung elegan itu sepertinya menungguku datang, dan aku akan menghabiskan hari-hariku lagi
di tempat menyenangkan itu. Aku memakirkan mobilku di basement, menguncinya dan berjalan menuju lift.

Aku melirik diriku sekilas di cermin. Bosku pemah memujiku bahwa penampilanku anggun
dan meyakinkan, itulah sebabnya ia sangat menyukaiku. Aku mengenakan kemeja pink muda yang dipadu dengan jas dan rok hitamku. Memulaskan make-up tipis-tipis dan mengikat rambut yang kucat cokelat ke belakang. Aku tersenyum sekilas, dan semuanya tampak sempuma.

Aku menyapa Flynn, wanita berusia 25 tahun yang bekerja di bagian resepsionis. Ia mempunyai senyum ramah dan gerakan yang cekatan. Aku selalu menyukai wanita itu. Aku berjalan di lorong terang benderang yang sesekali di penuhi orang yang pulang dan pergi. Kemudian aku berbelok ke dalam ruanganku sendiri. Ruangan tempatku menghabiskan waktu dengan berkutat pada komputer di depan mejaku.

"Vannesa," seseorang memanggil namaku dengan terburu-buru tanpa mengetuk pintu
masuknya.
Aku mendongak dan mendapati Arvay, bosku, berjalan tergesa ke mejaku, "ada apa, Pak?"
"Darurat, darurat." Ujarnya, "ehm, sebelumnya maaf menganggu."
"Saya barn datang, kok." Ujarku menenangkan.
"Ya, ya. Jadi begini, kau tentunya tau Marsha, bukan? Nah, bagaimana kalau kau ikut bersamanya
ke sebuah diskotik untuk meliput acara peluncuran produk minuman terbarunya? Kata Marsha bakal ramai. Dan sayang kalau kita melewatkannya di majalah kita." Jelasnya, "Jadi intinya, aku ingin kau sekali lagi—yeah sekali lagi merangkap menjadi jumalis dan wartawannya. Sarah cuti hamil. Nanti malam pukul 9—kalian siap-siap saja di sana, kau akan berangkat bersama Marsha."
"Baik, Pak." Jawabku singkat.
"Well, selamat bekerja. Maaf kalau kau harus lembur lagi." Ia mengakhiri kalimatnya dengan senyuman sekilas dan beranjak keluar ruangan.
Seperginya Arvay, aku menghembuskan napas berat. Arvay seorang yang perfeksionis
dan terkadang jiwa Sangunis-nya keluar. Asik berada di dekatnya, apalagi usianya masih muda, 4 tahun lebih tua di atasku. Banyak teman sekantorku yang naksir berat padanya, tapi menurutku, Arvay sangat mencintai perusahaannya, warisan dari Ayah kandungnya itu.

Bila dijabarkan lebih lanjut lagi, aku dengan senang hati akan menceritakannya. Arvay memiliki wajah yang sempurna, mungkin karena darah Jerman-Bandung yang mengalir di tubuhnya, dia tampan, mempesona, berwibawa, juga sangat baik. Tapi sepertinya dia tak pernah terbuka untuk urusan pribadinya. Aku sebagai orang kepercayaannya, merasa sangat dihormati bila ia terus terang mengatakan bahwa ia sangat menyukai penampilanku.

Sekilas tentang Arvay, dan aku akan kembali berkutat pada kerjaanku ini. Aku duduk
dan menelepon pemilik diskotik yang menjadi sasaran iklan kami, mengatakan bahwa
aku akan meliput beritanya.

*******

Aku turun dari taksi bersama Marsha. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 9 malam dan diskotik itu masih belum terlalu ramai. Aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam sebuah ruangan temaram yang rupanya cukup asik untuk disinggahi.

Rue21's Club seperti biasa tampak menggugah selera. Karena bar itu masih sepi tanpa pengunjung, aku dapat melihat jelas keindahan ruangan yang di dekor, semuanya bagiku tampak sempurna, dan cukup menarik minat. Bar itu terdiri dari 3 lantai. Lantai pertama biasanya lantai yang paling ramai. Dengan posisi meja yang sangat strategis, yaitu menghadap ke panggung, membuat pengunjung pun
bisa merasakan kenyamanan tanpa harus berdiri di dekat panggung. Sebuah panggung cukup besar biasanya dipersiapkan untuk para band yang sudah dikontrak untuk menghibur para pengunjung.

Lantai 2 adalah dunianya para pecinta lagu. Dengan sebuah layar lebar dan keseluruhan ruangan, membuat para pengunjung dapat berkaraoke bersama-sama atau pun bermain biliar. Lantai 3 khusus ruangan VIP. Mempunyai fasilitas yang sama dengan lantai 1 dan 2, namun setiap ruangan di sekat oleh dinding agar tidak mengganggu tamu lainnya. Dan di ruangan itu, para tamu bebas melakukan apa saja.

Singkatnya, diskotik itu cukup sempurna untuk dinikmati sekaligus membuang malam
yang terkadang terasa sendu.
Ketika jarum jam berkata padaku bahwa pukul 10 akan tiba beberapa menit lagi, Rue21's Club
sudah nyaris ramai dengan para pengunjung. Tadinya aku dan Marsha akan berbicara sebentar dengan pemiliknya, Rue, tapi ia sangat sibuk.
"Sepertinya itu Rue, dia mendatangi kita, Vannesa." Kata Marsha.
Aku mengamati seorang laki-laki yang kira-kira berusia 40 -an mendatangi kami. Ia tersenyum ramah, "Hai. Maaf membuat Anda menunggu. Saya rasa, Nona-lah yang menelepon saya tadi? Itu berita mengejutkan bagi saya, dan tentu saja saya dengan senang hati mengizinkan Anda berdua untuk meliput produk dan bar ini." Kata pria itu,
"Sekaligus mempromosikannya, bukan?" candanya.

Marsha berkeliling mengambil gambar dan terkadang berhenti sesaat untuk mewawancarai pengunjung atau pun pelayan bar itu. Entah kenapa, beberapa menit terakhir aku merasakan puncak kelelahan pada diriku, aku berkata, pada Marsha bahwa aku tidak bisa menemaninya berkeliling.

Aku mengedarkan pandangan dan mendapati adikku, Joshua, mendatangiku. "Vannesa? Sedang apa kau di sini? Bukannya kau sering melarangku untuk tidak bermain di bar? Ternyata kau juga iya? Wah, aku tidak menyangka." Sindir Joshua.

"Aku bertugas di sini. Bukankah sudah kukatakan berhentilah datang ke bar dan pikirkan sekolahmu! Aku memberimu uang untuk membayar uang sekolah, bukan untuk bersenang-senang!" seruku marah.

"Well, berhentilah menceramahiku. Lagipula aku tidak menyuruhmu bekerja, Vannesa. Kalau Papa
masih hidup, aku tidak akan hidup susah seperti ini! Dan itu gara-gara kau, Vannesa. Kau harus ingat itu." Katanya dan beranjak pergi meninggalkanku.

Aku terduduk sambil menahan air mataku. Sudah berlalu sekian tahun..., dan Joshua masih tak sanggup melupakannya, tak bisa memaafkanku. Ya, Papa meninggal memang karena aku, dan aku berusaha untuk membalas kesalahanku agar Joshua dapat tetap menikmati hidup!

Masih jelas dalam ingatanku. Waktu itu aku membohongi Papa, maksudku hanya bercanda, tapi aku tidak menyangka Papa serius. Tepat hari ulangtahunnya, aku menelepon sambil menangis, aku berkata kalau aku diculik dan aku menyuruhnya datang ke sebuah tempat di mana `penculik' itu menyekapku. Rupanya Papa begitu khawatir, ia ngebut di jalan dan akhimya menabrak sebuah truk, dan ia meninggal seketika.

Sejak itu Joshua selalu menyalahkanku. Ia tidak pernah memaafkanku, dan hubungan kami rusak parah. Kini aku tinggal di sebuah rumah mungil bersama dengan Joshua, karena Mama sudah lama meninggal ketika melahirkan adikku itu. Sepersekian detik kemudian Marsha kembali, "Hei, kau mau coba bir terbaru bar ini? Rasanya enak!" seru Marsha sambil membawa 2 buah gelas kecil. Aku meraih gelas yang diberikan Marsha dan meneguknya sampai habis, mencoba menghilangkan rasa sedih dan kesal yang bersatu dalam hatiku. Entah kenapa lagi, perutku menolak minuman itu dan untung saja aku tidak memuntahkan cairan itu keluar. Kepalaku mendadak pusing clan rasa sesak itu berkunjung lagi.
"Vannesa? Kenapa? Kau sakit dari tadi?" Marsha bertanya.
Aku menggeleng, menguatkan diriku. Aku mencoba menarik napas berkali-kali dan menghembuskannya. Aku sering melakukannya dan biasanya berhasil. Tapi kali ini tidak. Rasa sakit itu muncul lagi dan aku tidak dapat melihat dengan jelas. Gelap.

*******

"Dia kenapa, Dokter Frank?"
"Saat ini dia masih baik-baik saja. Yang saya kuatirkan sakit yang dideritanya tidak kuat ditahan olehnya lagi."
"Sakit? Sakit apa?"
"Anda tidak tau? Sakit jantung. Salah satu katup jantungnya bocor dan itu terkadang membuatnya sulit bemapas. Seharusnya, Ia tidak boleh merasakan kelelahan atau emosi tinggi, dan mengkonsumsi obat yang diberikan dokter dengan teratur. Apa sejauh ini ia tidak pernah memeriksakan. dirinya? Ia harus mendapatkan donor jantung."
"Donor jantung? Tapi itu..."
"Sulit. Ya, saya tau. Mungkin saya bisa mendiskusikannya setelah Vannesa sadar nanti. Kemungkinan besar, penyakit yang dideritanya ini telah lama diketahuinya."
Suara itu terdengar semakin jelas. Dan aku dapat menangkap pembicaraan mereka dengan baik. Pintu tertutup, menandakan sang dokter telah meninggalkan ruangan itu.
"Pak Arvay, Marsha." Panggilku lirih.
Keduanya bergegas mendatangiku, "Kau sudah sadar? Bagaimana keadaanmu? Kenapa kau tidak bilang kalau kau sakit jantung? Aku bisa mengatur agar kau tidak bekerja terlalu lelah. Bagaimana pemgembangan kondisi jantungmu? Aku harap baik-baik saja, benar bukan?" tanya Arvay bertubi-tubi.
Aku menggeleng pelan.
"Maksudmu, kondisi jantungmu drop?" tanya Arvay.
"Tidak. Aku tidak tau. Aku tidak tau kalau aku sakit jantung."
"Ya, Tuhan..." gumam Marsha.
Aku memalingkan wajahku dari mereka. Air mataku mengalir perlahan disertai dengan wajahku yang memanas. Aku sungguh-sungguh tidak tau. Ternyata rasa sesak dan sakit pada dadaku disebabkan oleh penyakit jantung yang kuderita, dan itu kuabaikan. Yang kupikirkan saat ini adalah, Joshua. Bagaimana kalau aku akhirnya akan mati nanti? Joshua tentunya hidup sendirian.

*******

"Jadi, apakah ada donor jantung untuk saya, Dok?" tanyaku sambil berharap.
Dokter itu menghela napas, dan helaannya cukup membuatku patah semangat, "Tidak. Maaf."
Aku berkeliling dan i rumah sakit yang satu ke rumah sakit yang lain, begitulah jawaban dokter spesialis jantung di sana. Di depanku ada sebuah gedung rumah sakit, dan inilah harapan terakhirku.
Aku masuk ke dalam sebuah ruangan persegi, ruangan yang ditempati dokter itu. Aku menyapanya dan ia menyilakanku duduk. "Dua hari yang lalu saya menghubungi rumah sakit ini. Saya Vannesa, saya mencari donor jantung."
"Oh, ya." Dokter itu tersenyum mengerti, "Semuanya sudah saya persiapkan, Nona. Tenang saja. Ada seorang pasien yang mengalami koma selama 3 tahun, dan orangtuanya sudah kehilangan harapan. Mereka bersedia mendonorkan jantung anaknya pada Anda." Aku tersenyum lega pada dokter itu begitu mendengar perkataannya. Semuanya seperti menjadi cerah kembali, dan aku mempunyai kesempatan hidup lebih lama lagi. "Seminggu kemudian saya akan menghubungi Anda lagi dan Anda bisa segera dioperasi. Persiapkan mental dan apa pun yang mampu mendukung Anda. Kita bertemu kembali, Nona Vannesa."

*******

Aku bersyukur mendapatkan donor jantung sebelum keadaanku bertambah parah. Yang kurasakan saat ini adalah, aku sangat bahagia. Suara pintu diketuk membuatku membukakan pintu masuknya.
Ketika terlintas dalam benakku Joshua, aku berpikir Joshua-lah yang pulang, ternyata Arvay.
"Pak Arvay?"
"Hai, Vannesa. Maaf menganggu." Sapanya.
Aku tersenyum sekilas dan seketika degupan jantungku seperti bertambah cepat,
"Tidak, tidak menganggu. Silakan masuk."
Arvay mengambil tempat di sofa kecilku dan sungguh mengherankan bila ia mampu menyempatkan diri mengunjungiku.
"Bagaimana keadaanmu, Vannesa?" tanyanya.
"Aku baik-baik saja. Aku sudah menemukan donor jantung dan secepatnya aku akan kembali bekerja."
Arvay tersenyum manis, "Tidak, aku tidak berrnaksud begitu. Tapi syukurlah kalau kau sudah mendapat donornya. Ngomong-ngomong, aku ingin memberimu ini." la menyodorkan sebuket bunga mawar yang kusuka.
Aku menerimanya sambil melempar senyuman, "Thanks."
"Aku tau kau suka bunga mawar."
"Dari mana Bapak tau hal itu?"
"Panggil saja aku Arvay." Kata.nya, "Ya, aku tau semua tentangrnu."
"Semua tentangku? Aku tidak menyangka." Ujarku jujur.
"Awalnya aku juga tidak menyangka. Tapi entah kenapa kau berbeda. Aku merasakannya. Dan aku semakin menyadari, bahwa kau-lah wanita yang kusuka."
"Er... maaf? A—aku...—"
"Aku mencintaimu, Vannesa."
Aku menunduk malu dan merasakan wajahku bersemu merah. Tak pernah kupungkiri bahwa aku pun mempunyai perasaan yang sama, yang selama ini kupendam dalam-dalam. Aku hanya berpikir, hubunganku dengan Arvay adalah atasan dan bawahan dan itulah sikap profesional yang kutunjukkan, bahwa hubungan cinta tak boleh terkait dalam hal ini Tapi rupanya Arvay berbeda, perkataannya membuatku bahagia.

"Aku ingin kau menjadi pacarku. Dan aku berharap jawaban `ya' darimu, Vannesa." Katanya mantap.

Ia menatapku dan aku mendapati sorot matanya yang begitu tajam. Aku merasa ia dapat membaca semuanya, melihat jauh ke dalam. Ia menunggu jawabanku. Dan tidakkah kau tau, bagaimana rasanya mendapat pertanyaan seperti ini? Aku merasakan pembuluh-pembuluh darahku seolah akan meledak keluar, dan hal itu membuatku tak bisa berhenti tersenyum.

*******

Aku berdiri dalam diam. Angka yang bertengger di atasku menunjukkan angka B2. Masih lama... kemudian Bl. Masih saja lama... L, 1, 2, 3. Pintu terbuka. Aku melangkah keluar dan balok besi yang baru saja meluncur ke atas. Kakiku menapak di sebuah lorong. Aku berjalan tergesa-gesa menuju suatu ruangan persegi dan masuk ke dalam.
"Dokter Darwin," sapaku. Aku duduk di sebuah kursi yang berhadapan dengannya,
"Ada kabar buruk apa?" tanyaku.
"Tenangkan dulu dirimu, Vannesa."
"Oke, ada apa?" tanyaku buru-buru.
Dokter itu menghela napas, kemudian menjawab, "maaf Sungguh kami minta maaf. Pasien yang akan mendonorkan jantungnya pada Anda rupanya sudah sadar."
Kata-kata itu bagaikan petir bagiku. Tapi aku tak sanggup berbicara apa-apa. Semua tubuhku sepertinya lemas, bahkan air mataku pun tidak bisa keluar. Aku hanya mengangguk tanpa suara dan beberapa menit kemudian aku keluar dari ruangan. Aku berjalan melewati sebuah lorong lagi. Pikiranku berkecamuk, ada sebuah suara yang berkata aku akan mati... sebentar lagi. Sebuah kamar yang terbuka menghentikan gerakanku. Itu kamar yang paling sunyi, tapi kini pintunya terbuka. Baru kusadari itu adalah pasien yang koma selama 3 tahun, dan kini ia telah sadar.

Aku melangkah masuk ke dalam ruangan itu. Kudapati orangtuanya berada di samping kiri pasien itu. Aku membelalak kaget, pria itu adalah Rue, pemilik diskotik terkenal, dan di sampingnya pasti istrinya. Berarti yang terbaring itu adalah anak mereka.

"Rue?" gumamku.

"Vannesa? Jadi, jadi selama ini kau-lah yang terserang penyakit jantung itu?" tanya Rue.

Aku mengangguk tanpa suara. Istrinya maju dan memelukku. Ia berbisik di sela-sela tangisannya, "maafkan kami, Vannesa. Aku tidak bisa membantumu."

la melepas pelukkannya dan tanpa sadar aku menangis. Aku berusaha tersenyum, "Tidak. Itu tidak masalah, aku senang anak Anda sudah sadar kembali." Ujarku tulus.

"Va...nesa...," seseorang dari arah tempat tidur memanggil namaku dengan lirih.
Aku berjalan mendatanginya, "Hai, senang melihatmu sudah sembuh." Ujarku, "Aku Vannesa, dan kau?"
"Aku Chris. Aku minta maaf..."
Aku menghapus air mataku yang terus mengalir, "Tidak, sungguh tidak perlu. Chris, aku senang melihatmu sadar."
Chris mengembangkan senyumnya perlahan-lahan, "Aku rela... mendonorkan jantungku untukmu, Vannesa...."
Air mataku mengalir semakin deras setelah mendengar perkataannya. Aku menatap wajah cowok itu. Wajahnya pucat dan diperban. Aku sungguh tidak tega....

*******

Aku duduk di salah satu kafe yang terletak dekat dengan rumah dan kantorku. Aku menghirup wangi dan hangatnya teh yang ada di depanku. Aku menghela napas berat. Kejadian itu telah berlalu selama 2 hari. Dan aku harus menerima kenyataan bahwa aku tidak akan mendapatkan donor untuk yang kedua kalinya. Dan aku telah memutuskan, aku tidak mau menghabiskan hari-hariku di rumah sakit.

Aku mengedarkan pandanganku ke luar kafe. Baru kali ini aku menyadari, mawar yang ditanam di luar kafe itu sungguh indah. Suara manusia tertawa, menangis, semuanya berlalu ribut di telinga kanan dan kiriku. Ku pandangi langit biru dengan awan putih yang menemaninya, tampak sempurna. Sekali lagi aku tersenyum. Menikmati semua keindahan yang tercipta. Sungguh, baru kali ini aku menyadari semuanya tampak begitu indah, sangat mempesona.

Ya..., tak pernah kurasakan hal seperti ini. Ketika vonis dokter itu dikeluarkan, semuanya tampak akan berhenti, aku bisa pergi dari dunia ini dengan tiba-tiba, dan begitu saja. Banyak hal yang tak kulakukan disaat aku masih sehat. Banyak hal yang tak pernah kusyukuri disaat semua itu diciptakan untuk memperindah hidupku.
Kini, aku menyadari, sesaat semua itu kelihatan biasa-biasa saja, bahkan tidak jarang kau berpikir bahwa hidup ini seperti robot, dan semua itu sangat membosankan. Kau diprogam untuk pergi ke sekolah, kerja, atau apa pun, kemudian pulang, makan, tidur, dan kembali bekerja lagi. Tapi kau tidak menyadari, bila besok adalah hari terakhirmu di dunia ini, aku yakin, kau pasti ingin menikmati terbit dan tenggelamnya matahari, sinar lampu di sepanjang jalan, orang-orang yang berada di sekelilingmu, entah mereka musuh, atau sahabat. Tapi sepertinya kesempatan itu tidak bisa kupergunakan dengan baik....
Aku mendapati Arvay duduk di sampingku. Seketika aku begitu terkejut, karena aku tidak membuat janji dengannya.
"Kenapa kau menangis?" tanya Arvay.
Aku baru menyadari kalau aku menangis entah untuk yang ke berapa kalinya. Aku cepat-cepat menghapusnya namun tangan Arvay menghentikan gerakanku. "Katakan kenapa?" Arvay mengulang pertanyaannya.
"Arvay, aku...—" aku tersendat, "...Aku tidak mendapatkan donor jantung itu. Tidak ada donor jantung untukku lagi. Pasien itu telah sadar."
"Tidak..., kau akan mendapatkannya, Vannesa." Katanya.
"Aku sudah menyerah untuk mencarinya, Arvay. Tapi aku tidak akan pernah menyerah untuk memperjuangkan hidupku. Hanya saja..., aku takut ketika hari kematianku tiba, akan ada orang yang terluka. Yaitu kau. Aku tidak mau kau bersedih."
"Tidak, Vannesa. Apa pun keadaanmu, aku pasti akan menemanimu."
"Sungguh, Arvay. Tinggalkan aku saja." Aku menatap kedua matanya.
"Vannesa...,"
"Lupakan aku."
Aku melangkah keluar dan Arvay tidak mengejarku. Terlihat jelas di matanya bahwa ia sangat terpukul. Tapi itulah pilihanku. Seperti kataku, aku tidak akan menyerah untuk hidup. Hanya saja, aku tidak ingin semakin banyak orang yang kutinggalkan.


Jumat, 7 Desember

Langit tampak  suram saat itu
Seketika hujan turun dengan ganasnya
Pelangi itu datang mengatarmu pergi
Ke suatu tempat yang jauh lebih indah dari Bumi

Aku memang tidak bisa menahan air mata ini
Walau kau menyuruhku tuk tetap tersenyum
Tapi aku berusaha
Berusaha tuk ikhlas mengatarmu pergi dengan... senyuman 

Di mana pun kau berada saat ini
Aku yakin kau melihat ketulusan cintaku
Rasa sayang ini tak akan terganti
Walau penghalang Surga dan Bumi terbentang

Aku yang selalu mencintaimu
Arvay Clarence
Jumat, 7 Desember


Vaneesa, aku Joshua. Ternyata kau meninggalkanku sekarang. Kau bilang kau akan membuatku tetap dapat menikmati hidup. Kau berjanji pada dirimu agar kau bisa membuatku memaafkanmu. Sayang, kau tak pernah tau bahwa aku telah lama memberi maaf itu. Hanya saja, aku menyesal. Mengapa kata maaf itu sangat terlambat? Ketika kau telah ada di Surga sana.

Sungguh, Vannesa. Aku telah, telah sangat memaafkanmu. Aku sayang padamu, Kak. Aku tak berniat untuk menyalahkanmu terus-menerus. Kau tertutup sekali. Bahkan aku baru menyadari hari ini kalau kau sakit jantung.

Hari ini pelangi tampak jelas di kamarmu. Aku yakin kau sedang dalam perjalanan ke Surga. Datanglah ke mimpiku dan ceritakan padaku betapa hebatnya tempat itu. Di sana, aku akan meminta maaf padamu. Aku berjanji akan berubah, seperti yang kau inginkan dariku. Vannesa, tak ada satu orang pun yang sanggup menjadi kakak untuk diriku, selain kau.


—THE END—


By : Johanna Melisa

No comments:

Post a Comment