Mosaic Rile: Bears, Believe, Hopes and Endures

Thursday, March 26, 2015

Bears, Believe, Hopes and Endures



Seandainya saat kaki Cinderella tidak pas di sepatu kaca itu, mungkin kehidupannya akan berubah….


Salah satu cerita dari Disney yang menurutnya sangat manis adalah kisah itu. Bagaimana dulu saat ia mendengar dongeng dan merasa tenang saat Cinderella hidup bahagia bersama pangeran impiannya. Bukankah menghabiskan sisa hidup dengan pria yang dicintai adalah hal yang indah yang diimpikan setiap wanita?
Tania mendengus pelan. Kedua tangannya mengebas-ngebaskan baju yang baru saja dikeringkan di mesin cuci, lalu kemudian menggantungnya di teras rumah. Tubuhnya tinggi menjulang sehingga ia tidak kesulitan untuk menggantungkan baju yang siap dicuci itu. Ia mengusap keningnya setelah selesai menjemur pakaian, kemudian mengunci pintu teras dan berjalan menuju tangga.
Sebelum menuruni anak tangga ia termenung di depan kamar utama. Sebuah pintu tertutup rapat namun ia bahkan tak sanggup membukanya. Ini kisah tentang, pangerannya. Tania menguatkan hatinya, meletakkan tangan kanannya pada kenop pintu, kemudian membukanya.

Matanya menyapu seluruh ruangan berbentuk persegi empat itu. Ketika ia menghabiskan waktu di sana, ketika ia pernah tertawa, ketika ia merasa bahwa sepatu kacanya memberikan kebahagiaan di akhir hidupnya. Namun, kisah dongeng yang diceritakan berhenti sampai pada Cinderella hidup bersama pangeran. Sang putri salju terbangun dari tidurnya dan hidup bersama-sama dengan si pangeran. Sang putri melihat seekor katak yang berubah menjadi pangeran dan tinggal bersamanya selamanya. Impianlah yang membuat hidup bersama-sama dengan pangeran seakan-akan bahagia selamanya. Tapi tidak. Kau bahkan tidak  tahu seperti apa pangeran itu.
Tania menutup ruang kenangannya. Ia membalikkan tubuh dan sekarang benar-benar berjalan menuruni anak tangga. Di lantai dasar, ia menemukan seorang bocah laki-laki sedang bermain di ruang tamu. Tangan mungilnya berada di atas mobil yang ukurannya hampir setinggi tubuhnya, mendorongnya kesana kemari, tawanya polos dan membuat hati Tania berubah ringan.
Yeap, benar. Anak itu mirip dengan wajahnya, dan separuhnya lagi mirip dengan seseorang. Seseorang yang dulunya adalah orang yang paling dicintainya. Jadi, jika ia adalah Cinderella si pemilik sepatu kaca, maka ia telah menyerahkan hidupnya pada pangeran yang salah. Ia tidak tahu kalau pangeran itu tidak seperti yang diharapkan Cinderella manapun.
 

Jadi, jika Cinderella tetap terkurung di lantai atas dan tidak membiarkan pangeran mengenalinya, mungkin ia akan bertemu dengan pangeran lain yang lebih baik….

 

***

“Ah, aku butuh uang, benar-benar, sungguh-sungguh!” gerutu Tania. Tangannya nyaris mengacak rambut panjangnya, dan kantung matanya benar-benar terlihat jelas.
Suara tawa sudah lebih dulu muncul dibanding kehadiran tubuh si pemilik. “Kau sudah gila, ya?” Bram, atasannya sekaligus teman yang sangat pengertian hingga sesekali Tania ingin melempar buku tebal ke wajahnya.
“Brum,” Tania mendesis kesal. Tubuhnya bulat dan Bram tidak tinggi, sehingga kata Ann, rekan sekantornya, kalau Bram berjalan yang lebih dulu muncul adalah perutnya yang buncit, dan karena itulah Tania lebih senang memanggilnya Brum. ‘Brum… Brum… Brum’ lagipula anak Tania memanggilnya begitu.
“Oh, please. Abraham should be better,” pria itu mengoreksi namanya yang diperlakukan seenaknya oleh Tania. “Leo, okay? I mean, apakah dia minum susu teratur, makan teratur… ermm…, well, you know…,” ucapan Bram jadi tersendat.
Tatapan Tania berubah jadi teduh. Sekalipun ia ingin melempar buku ke wajah Bram, tapi pria itu memperhatikan anaknya, dan kondisi keuangannya. Sejak Jerry, suaminya itu menghilang entah ke mana dari rumahnya, Tania menjadi single parent yang bekerja sekaligus merawat Leo, anak laki-lakinya.
Suatu waktu memasuki 2 tahun pernikahannya, ia mendapati Jerry bekerja hingga larut malam di kantornya. Kemudian, semakin lama semakin larut hingga saat Tania bangun dari tidurnya pun, Jerry tidak ada di sampingnya. Sepolos apapun Tania, ia tahu bahwa Jerry memiliki wanita lain. Dugaannya menjadi benar ketika ia melihat akun Instagram milik suaminya sedang berpose dengan wanita lain. Well, bergandengan tangan, berpelukan, berciuman. Semua itu dilakukan suaminya saat ia—sibuk mengurusi anak mereka yang masih kecil.
Hancur? Benar. Hatinya hancur. Keluarganya juga. Ia bahkan lelah meminta Jerry pulang ke rumahnya sekalipun Tania mampu memaafkan suaminya itu. Tania mendesah panjang, tak sadar bahwa Abraham mendengarnya.
“Uh-oh,” keluh pria itu, “Apakah pertanyaanku memberatkanmu?” tanyanya.
Tania menggeleng. “Nope, hanya teringat sesuatu.”
“Jerry?”
Tania mengangkat alisnya, memberitahu Abraham dengan menunjukkan raut wajahnya yang merasa terganggu oleh nama itu. “Voodoo! Berhentilah bekerja di sini dan jadi atasanku. Lebih baik kau jadi peramal,” Tania nyengir lebar kemudian bangkit dari kursinya dan hendak menuju pantry, sejak pagi ia sibuk dengan urusan rumah dan sebagainya, hingga urusan perutnya terlupakan.
Saat selangkah lagi Tania menjejakkan kedua kakinya ke pintu masuk, ia mendengar suara Bernice dan rekan dari divisi lain yang tidak begitu ia kenal dekat. “Dengan siapa katamu?!” Bernice berjengit.
“Jerry. Kau tahu, kan? Aku melihatnya kemarin.”
“Jerry, Jerry yang itu? Tania-Jerry. Uhm, Jerry suami Tania?” tanya Bernice tak percaya.
For Gucci’s sake, Bernice. Yeah, suami Tania. Aku melihat Jerry bersama Gwen. Pacar barunya itu. Gwen bahkan bercerita akan bertemu Jerry malam ini. Apakah Tania tidak bicara apapun denganmu? Kupikir seharusnya Tania…”
“Ehem,” Tania berdehem, menghentikan percakapan keduanya dan masuk dengan wajah lugu. Ia menuju kulkas dan membukanya dengan satu tangan, mengamati isi lemari es dan mencari-cari apakah ada makanan yang bisa dimasukkan ke microwave untuk dimakan atau tidak. Oh, sungguh. Dia berniat melihat Gwen dan memasukkan wanita itu ke dalam microwave.

***

Beruntungnya Jerry masih mengenakan akun Facebook yang sama, password yang sama, sehingga Tania bisa membaca pesan-pesan yang diterima Jerry dari Gwen. ‘Tempat biasa, my dear’, ‘Anakku? Kami bergantian menjaga’, ‘Bisakah kau tinggalkan istrimu dan oh, apa yang kau tunggu dari ini semua, Jerry?’, ‘Let’s skip this. We have talked about Tania so many times.’, ‘Done my job, let’s meet!’.
Hati Tania seolah terbakar membaca percakapan-percakapan singkat itu, dan lebih-lebih mereka membahas dirinya. Pesan terakhir adalah beberapa menit yang lalu. Bersyukurlah pada kebiasaan-kebiasaan kecil Jerry yang Tania ingat di luar kepala, seperti Jerry lebih senang berkomunikasi lewat Facebook dibanding akun sosial media lainnya, Jerry lebih senang berada di café seberang kantornya dan menghabiskan waktu di sana, Jerry juga… ah, ah! Tania menghentikan ingatannya.
Tania melangkahkan kakinya ke dalam café, aroma kopi menguar dari dalam dan menggoda Tania yang memang pencinta kopi. Tapi tunggu dulu, sosok itu beberapa meter jaraknya dari Tania yang sedang berdiri di dekat meja kasir. Pria yang sudah lama tak ingin Tania temui lagi, atau wajah pria yang selama ini membuat hatinya perih dan sakit.
Ia melihat seorang wanita berambut sebahu, duduk berhadapan dengan Jerry. Dan lihat, tangan Jerry mengenggamnya. Oh, lihat lagi, itu pasti Gwen, yang membalas genggaman Jerry tak kalah erat. Liuk tubuh wanita itu menggoda Jerry, caranya duduk, caranya berpakaian. Dan Tania tak sudi lagi mematung di tempatnya berdiri sekarang.
“Hai, Jerry,” ia menyunggingkan senyumnya saat menatap mata Jerry yang membulat karena terkejut, tapi Tania mengalihkan pandangannya dan menatap wanita yang bersama suaminya itu, “Dan kau pasti Gwen,” Tania mengangguk. “Bisakah kita bicara berdua, Jerry?”
“Apa yang kau lakukan di sini?” Jerry bertanya, setengah kesal saat keduanya menjauh dari Gwen karena permintaan Tania yang tanpa toleransi.
“Dan apa yang kau lakukan bersamanya?” Tania balas bertanya.
“Bagaimana kabar Leo?” Jerry mengalihkan pembicaraan.
Tania memutar bola matanya. “Kalau kau ingin bersamanya, then just let me go. Pilihan yang terbaik adalah kita berpisah, bercerai. Kau bersama dengan wanita itu, dan biarkan aku tinggal bersama Leo. Aku tidak akan menuntut apapun darimu. Oke?” Tania hampir-hampir memohon pada Jerry.
Jerry menghela napas, ia meletakkan kedua tangan di pinggangnya. “Pulanglah,” ia hanya mengucapkan sepatah kata, berbalik dan menggandeng tangan Gwen yang menatap Tania kesal, kemudian mereka pergi lebih dahulu.
Tania menutup wajahnya, merasa bersalah telah membuat hatinya tercabik-cabik oleh keinginannya berpisah dengan Jerry, dan bimbang pada hidupnya kelak. Maka, ia mengeluarkan ponsel dari tas tangannya, menekan tombol 2 dan membangunkan nada dering milik Abraham.

***

“Ya, dan ‘pulanglah’. Begitu. Kau tahu apa maksudnya, Bram? Waktu aku pergi bersama teman-temanku dan katanya ‘pulanglah’ lalu aku harus mengurus Leo dan rumah. Bahkan Jerry lebih senang memerintahku. Menyuci pakaiannya, mengurus Leo, memasak untuknya, saat Jerry pulang dalam keadaan mabuk, kau tahu apa yang harus kulakukan? Dia memerintahku untuk menyiapkan apapun yang dia butuhkan, dan dia bisa langsung tidur tanpa bertanya apakah aku lelah sehabis kerja atau tidak. Dan sekarang? ‘Pulanglah’, kulanjutkan apa yang tersimpan di benaknya, ‘Pulanglah, kehadiranmu mengangguku dan Gwen’,” cerita Tania tak henti.
Abraham memperhatikan Tania dengan seksama saat Tania pada akhirnya menatap Abraham dengan mata hampir berkaca-kaca. “Lalu?”
“Lalu,” Tania menelan ludah dan terdiam sejenak, “Aku ingin berpisah dengannya, tapi bahkan untuk berpisah pun begitu sulit.”
“Kau perlu melayangkan surat perceraian dan menuntutnya telah berselingkuh. Aku…,” Abraham berdehem, “Aku akan menemanimu. Setidaknya untuk sekarang—” pria itu menegaskan, “Jika kau butuh aku, aku akan ada untukmu.”
Tania terperangah. Ia mengenal Abraham sejak ia pindah bekerja di tempatnya sekarang. Ia bersikap biasa saja karena tidak ada yang perlu dibanggakan tentang dirinya, seorang wanita yang ditinggalkan suaminya. Tapi Abraham waktu itu tahu, dan memperlakukannya sama seperti wanita lainnya. Kini ketika tangan pria itu menyentuh bahunya lembut, ia merasakan empati yang cukup dalam dari pria itu, dan pria itu bersedia menemaninya.
Semua orang di kantor tahu, bahwa perhatian Abraham lebih daripada kepedulian seorang atasan terhadap bawahan, atau perhatian seorang teman. Kehadiran Abraham membuatnya cukup terkesan, dan Abraham tidak menyembunyikan perasaan itu. Bagi Tania, Abraham mungkin mengikis perasaannya terhadap Jerry, Abraham mungkin merupakan sosok pangeran yang lain yang diimpikan Tania, tapi ia tidak berani melangkah lebih jauh.

***

Tania mengetik dengan cepat di layar ponselnya, membalas singkat mengenai ajakan makan malam Abraham sepulang kerja.
No, thanks,” balas Tania.
Ada masalah?” Abraham membalasnya.
Tidak. Aku meninggalkan Leo lama di penitipan. Aku akan menemaninya sepulang kerja.”
Mau kutemani?”
Again! Tania mendesah, sulit untuk membalas, lebih sulit lagi waktu mengirimnya. “Thanks but it is only me and my dear child.”
Kalau perasaan-perasaan Abraham kepadanya terus mengalir deras seperti ini, ia tahu ia tidak akan bisa mengendalikan dirinya sendiri. Ia mungkin akan menerima dan haus akan kasih sayang dari Abraham, hidup Leo akan lebih terjamin dengan kehadiran seorang Ayah baru—mungkin. Tapi sialnya nama Jerry bersarang di benaknya. Keluarga kecilnya. Keluarga Jerry. Keluarga Tania. Perasaannya pada Jerry mungkin sudah hilang, tapi tanggung jawabnya terhadap Leo tidak akan pernah berhenti.
Entah kenapa seakan dunia sedang menyudutkannya, sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenal meneleponnya terus-menerus.
“Halo?” Tania memulai percakapan, detak jantungnya semakin kencang seiring detik-detik menegangkan berlalu dalam percakapan itu. Wanita yang meneleponnya mengabarkan bahwa Leo kini berada di rumah sakit, tempat penitipan itu mengantar anaknya ke rumah sakit saat Leo muntah-muntah tadi siang.
Tania bergegas mencegat angkutan umum di jalan raya, sepanjang perjalanan tangannya sibuk menelepon Abraham, tapi pria itu tidak mengangkatnya. Pilihan terakhirnya adalah menelepon Jerry.

***

Mungkin Leo sedang kurang sehat saat pergi ke sekolah tadi, sehingga saat Leo berada di penitipan anak, kondisi Leo memburuk dan memuntahkan semua isi perutnya berkali-kali. Hati Tania sedikit tenang saat Leo sudah tidak menangis saat pertama kali dokter dan perawat memeriksa tubuhnya. Namun kehadiran Jerry membuatnya nyaris sakit kepala.
“Apa yang kau lakukan?” pertanyaan Jerry sedikit menyinggung perasaannya.
“Aku merawatnya.”
“Lihat,” Jerry menunjuk sebuah kamar tempat Leo dirawat, “Ini yang kau bilang merawat?!” Jerry hampir berteriak.
Tania menghela napas. “Dan lihat,” Tania mengarahkan jari telunjuknya tepat di depan Jerry. “Apa yang dilakukan seorang Ayah sepertimu? Bermain dengan wanita lain? Menghabiskan uang? Meninggalkan anak satu-satunya dan bahkan tak pernah tahu kabarnya sama sekali! Menurutmu, pria seperti ini, layak disebut Ayah?” sergah Tania. “Oke. Aku tahu Leo hanya sakit seperti anak kecil lainnya, tapi mungkin anak kecil yang lain mendapat perhatian dari Ayahnya, saat ia sakit, saat ia ulang tahun, saat mengambil rapor, saat bermain, bahkan saat ia tidur!” seru Tania.
“Cukup!” Jerry membentaknya.
“Tidak,” lanjut Tania cepat. “Aku memberimu pilihan, kau bisa menerima surat perceraian kita, atau kau kembali—bukan demi aku, tapi demi Leo. Saat kita berpisah, pergilah sejauh mungkin, jangan pernah hubungi aku lagi. Tapi kalau kau memutuskan untuk kembali, tinggalkan Gwen, dan semua yang membuatmu berubah seperti ini,” Tania mengucapkannya keluh kesahnya hingga lupa bagaimana cara bernapas, dadanya terasa sesak, tapi ia tahu ia harus membantu Jerry membuat keputusan, sekaligus menjelaskan ke mana seharusnya ia melangkah di masa depan.
Jerry tidak mengucapkan sepatah katapun, kelihatannya ada perkataannya yang mengena di hati Jerry, atau Jerry hanya malas berdebat dengannya seperti ketika mereka bersama dulu. Tapi tidak apa-apa, Tania tahu cepat atau lambat, mereka harus membicarakan permasalahannya kembali.

***

Tania merias wajahnya secantik mungkin, ia mengenakan gaun yang sangat ia sukai, ia tidak tahu mengapa ia berusaha melakukan yang terbaik, mungkin juga karena Tania menganggap ini adalah pertemuan terakhirnya dengan Jerry. Yap, benar, Jerry menghubunginya sebulan kemudian setelah kejadian mereka di rumah sakit. Rasanya sudah lama sekali hingga akhirnya Jerry memutuskan untuk bertemu dengannya.
Tania kemudian mengeluarkan ponselnya dari tas tangan hitamnya, ia mencari nama Abraham di salah satu aplikasi sosial medianya. “Hai, Bram. Hari ini aku bertemu dengan Jerry, mungkin kami akan bercerai setelah ini, aku juga tidak berani mengharapkan pernikahan kami kembali baik. Tapi satu hal yang aku ingin kau tahu, just let me walk in my own way, and u too. We no need to be in relationship, unless a very best friend,” setelah mengetik demikian, hati Tania terasa ringan, satu masalah terselesaikan.
Ia masuk ke sebuah restoran yang tak pernah ia singgahi, kemudian matanya dengan cepat menangkap sosok Jerry yang tengah duduk di meja sudut, membelakangi pintu masuk. Tania memantapkan langkahnya, berjalan selangkah demi selangkah dan duduk tepat di hadapan Jerry. Ia telah menyiapkan hatinya kali ini, untuk itu ia tersenyum saat menyapa pria yang masih menjadi suaminya itu.
“Kau sudah lama?” tanya Tania.
Jerry menggeleng. Tania memandang pria itu, wajahnya terlihat lebih tirus, sedikit bayangan hitam di bawah matanya, Tania bertanya-tanya dalam hati apakah Jerry mabuk semalam.
“Kalau kau ingin tahu apakah aku mabuk atau tidak, well, jawabannya tidak,” Jerry membuka suara. Tania mendengar dan membulatkan mulutnya, kemudian mengangguk-angguk samar, menutupi keterkejutannya.
“Jadi kau mau pesan makan apa?” tanya Tania.
“Tidak, kita akan membicarakan hal yang kau mau sebulan lalu,” balas Jerry.
“Oke,” Tania kembali duduk tegak, membiarkan kedua telinganya menangkap semua keputusan pria di hadapannya. “Aku sudah menyiapkan berkas-berkas yang kuajukan untuk di bawa pada saat sidang perceraian,” Tania meletakkan kertasnya di atas meja, “Kita bisa sama-sama mengatur alasan perceraian kita, kupikir, bercerai baik-baik lebih mudah daripada harus mengajukan tuntutan, uh-oh, aku tak tahu bagaimana mengurus ini. Kau ada ide?” tanya Tania.
Jerry menaikkan alisnya. “Apa pria itu membuatmu bahagia?”
“Pria mana?” Tania bertanya spontan, tapi sepersekian detik kemudian mengerti, “Oh, Bram. Yeah, sangat. Aku bahagia menjadi temannya,” balas Tania sambil tersenyum senang.
“Bukan kekasihnya?” Jerry bertanya lagi.
Tania mengerutkan dahinya, “Bukan. Kita tidak sedang membicarakannya, kan?”
“Ya, tidak. Bukan dia, tapi kau,” balas Jerry tak sabar.
“Aku?”
“Kau tetap polos seperti biasanya,” Jerry tertawa pelan, kemudian berdehem lagi, “Kau tidak sedang menjalin hubungan dengannya?”
Giliran Tania yang tertawa, ia menyodorkan ponselnya ke arah Jerry, “Kau bisa membacanya untuk membuktikan hubunganku dengan Abraham. Aku tidak sepertimu,” sindir Tania.
Jerry menatap Tania sekilas kemudian meraih ponsel Tania. Tania menunggu pria itu membaca pesan-pesan di dalam sana, tapi Tania tidak peduli. “Kau tidak berani mengharapkan pernikahan kita kembali?” tanya Jerry, pria itu mengembalikan ponsel milik Tania.
Tania mengangguk. “Sudahlah. Jadi seperti pertanyaanku tadi, apa kau ada ide untuk mengurus ini lebih cepat?”
Jerry mendesah. “Aku meninggalkan Gwen,” katanya lirih.
Tania terdiam, terkejut. “Ha?”
“Seperti katamu, aku memutuskan hubunganku dengannya. Dan aku ingin kembali padamu,” raut wajah Jerry terlihat sangat serius sehingga Tania tak lagi mengira pria itu sedang bercanda.
“Mengapa?”
“Karena Leo, dan… Tania. You are my family after all. Aku tidak sadar sedang menyakitimu, aku tidak sadar sedang merusak sebuah keluarga yang seharusnya bisa bahagia,” ungkap Jerry, “Karenanya aku menemui Gwen beberapa hari setelah kemunculanmu sebulan yang lalu, aku menemuinya untuk membicarakan ini. Lalu untuk meyakinkan diriku bahwa aku akan kembali padamu tanpa menyakitimu, aku mencoba untuk tidak melakukan hal-hal yang membuatmu menderita, termasuk, mabuk hingga pagi. Sebulan adalah waktu yang tidak pernah cukup bagiku untuk membuktikan semua ini, yang kutakutkan adalah aku kembali menyakitimu. Tapi, keinginanku untuk kembali lebih besar, dan aku akan bertanggung jawab untuk semua masalah yang pernah kulimpahkan kepadamu, termasuk… menjadi Ayah yang baik untuk Leo, dan suami yang baik untukmu.”
Saat mendengar perkataan Jerry yang panjang itu, perasaan hangat mengalir dalam hati Tania, dan berkas-berkas perceraian itu tidak lagi penting di matanya.
So, will you forgive me?” tanya Jerry.
Tania mengangguk, dan saat itu air mata bergulir di wajahnya dan juga wajah Jerry. Saat beban di hatinya yang tak bisa ia utarakan seberat apa, Tania kini merasa jauh lebih ringan. Mungkin pada kenyataannya hubungan yang ia jalin tidak sempurna, suaminya juga tidak, bahkan dirinya pun tidak lebih baik dari Jerry. Tapi, ia telah memutuskan untuk menikah dengan Jerry 2 tahun yang lalu, dan seburuk apapun pangeran yang membangun hidup bersamanya 2 tahun lalu, kini dan kelak, Tania tahu ia tak perlu mencari pangeran lain yang lebih baik dan lebih sempurna.

Dan kini, Cinderella pun tahu hidup bersama pangeran yang ia pilih bukan keputusan yang menyedihkan, karena di akhir cerita selalu ada kalimat ‘dan mereka pun hidup bahagia selamanya’.

 

***

Written by: Johana Melisa

Inspired by: Half true story from a married woman & half wishes

 

Love suffers long and is kind; love does not envy; love does not parade itself, is not puffed up; does not behave rudely, does not seek its own, is not provoked, thinks no evil; does not rejoice in iniquity, but rejoices in the truth; bears all things, believe all things, hopes all things, endures all things. Love never fails,” –   1 Corinthians 13:4-8.

 

 

 

No comments:

Post a Comment