Seandainya saat kaki Cinderella tidak pas di sepatu
kaca itu, mungkin kehidupannya akan berubah….
Salah
satu cerita dari Disney yang menurutnya sangat manis adalah kisah itu.
Bagaimana dulu saat ia mendengar dongeng dan merasa tenang saat Cinderella
hidup bahagia bersama pangeran impiannya. Bukankah menghabiskan sisa hidup
dengan pria yang dicintai adalah hal yang indah yang diimpikan setiap wanita?
Tania
mendengus pelan. Kedua tangannya mengebas-ngebaskan baju yang baru saja
dikeringkan di mesin cuci, lalu kemudian menggantungnya di teras rumah.
Tubuhnya tinggi menjulang sehingga ia tidak kesulitan untuk menggantungkan baju
yang siap dicuci itu. Ia mengusap keningnya setelah selesai menjemur pakaian,
kemudian mengunci pintu teras dan berjalan menuju tangga.
Sebelum
menuruni anak tangga ia termenung di depan kamar utama. Sebuah pintu tertutup
rapat namun ia bahkan tak sanggup membukanya. Ini kisah tentang, pangerannya.
Tania menguatkan hatinya, meletakkan tangan kanannya pada kenop pintu, kemudian
membukanya.
Matanya
menyapu seluruh ruangan berbentuk persegi empat itu. Ketika ia menghabiskan
waktu di sana, ketika ia pernah tertawa, ketika ia merasa bahwa sepatu kacanya
memberikan kebahagiaan di akhir hidupnya. Namun, kisah dongeng yang diceritakan
berhenti sampai pada Cinderella hidup bersama pangeran. Sang putri salju
terbangun dari tidurnya dan hidup bersama-sama dengan si pangeran. Sang putri
melihat seekor katak yang berubah menjadi pangeran dan tinggal bersamanya
selamanya. Impianlah yang membuat hidup bersama-sama dengan pangeran
seakan-akan bahagia selamanya. Tapi tidak. Kau bahkan tidak tahu seperti apa pangeran itu.
Tania
menutup ruang kenangannya. Ia membalikkan tubuh dan sekarang benar-benar
berjalan menuruni anak tangga. Di lantai dasar, ia menemukan seorang bocah
laki-laki sedang bermain di ruang tamu. Tangan mungilnya berada di atas mobil
yang ukurannya hampir setinggi tubuhnya, mendorongnya kesana kemari, tawanya
polos dan membuat hati Tania berubah ringan.
Yeap,
benar. Anak itu mirip dengan wajahnya, dan separuhnya lagi mirip dengan seseorang.
Seseorang yang dulunya adalah orang yang paling dicintainya. Jadi, jika ia
adalah Cinderella si pemilik sepatu kaca, maka ia telah menyerahkan hidupnya
pada pangeran yang salah. Ia tidak tahu kalau pangeran itu tidak seperti yang
diharapkan Cinderella manapun.
Jadi, jika Cinderella tetap terkurung di lantai atas
dan tidak membiarkan pangeran mengenalinya, mungkin ia akan bertemu dengan
pangeran lain yang lebih baik….
***
“Ah,
aku butuh uang, benar-benar, sungguh-sungguh!” gerutu Tania. Tangannya nyaris
mengacak rambut panjangnya, dan kantung matanya benar-benar terlihat jelas.
Suara
tawa sudah lebih dulu muncul dibanding kehadiran tubuh si pemilik. “Kau sudah
gila, ya?” Bram, atasannya sekaligus teman yang sangat pengertian hingga
sesekali Tania ingin melempar buku tebal ke wajahnya.
“Brum,”
Tania mendesis kesal. Tubuhnya bulat dan Bram tidak tinggi, sehingga kata Ann,
rekan sekantornya, kalau Bram berjalan yang lebih dulu muncul adalah perutnya
yang buncit, dan karena itulah Tania lebih senang memanggilnya Brum. ‘Brum…
Brum… Brum’ lagipula anak Tania memanggilnya begitu.
“Oh,
please. Abraham should be better,” pria itu mengoreksi namanya yang diperlakukan
seenaknya oleh Tania. “Leo, okay? I mean, apakah dia minum susu teratur,
makan teratur… ermm…, well, you know…,” ucapan Bram jadi tersendat.
Tatapan
Tania berubah jadi teduh. Sekalipun ia ingin melempar buku ke wajah Bram, tapi
pria itu memperhatikan anaknya, dan kondisi keuangannya. Sejak Jerry, suaminya
itu menghilang entah ke mana dari rumahnya, Tania menjadi single parent yang bekerja sekaligus merawat Leo, anak
laki-lakinya.
Suatu
waktu memasuki 2 tahun pernikahannya, ia mendapati Jerry bekerja hingga larut
malam di kantornya. Kemudian, semakin lama semakin larut hingga saat Tania
bangun dari tidurnya pun, Jerry tidak ada di sampingnya. Sepolos apapun Tania,
ia tahu bahwa Jerry memiliki wanita lain. Dugaannya menjadi benar ketika ia
melihat akun Instagram milik suaminya
sedang berpose dengan wanita lain. Well,
bergandengan tangan, berpelukan, berciuman. Semua itu dilakukan suaminya saat
ia—sibuk mengurusi anak mereka yang masih kecil.
Hancur?
Benar. Hatinya hancur. Keluarganya juga. Ia bahkan lelah meminta Jerry pulang
ke rumahnya sekalipun Tania mampu memaafkan suaminya itu. Tania mendesah
panjang, tak sadar bahwa Abraham mendengarnya.
“Uh-oh,”
keluh pria itu, “Apakah pertanyaanku memberatkanmu?” tanyanya.
Tania
menggeleng. “Nope, hanya teringat
sesuatu.”
“Jerry?”
Tania
mengangkat alisnya, memberitahu Abraham dengan menunjukkan raut wajahnya yang
merasa terganggu oleh nama itu. “Voodoo!
Berhentilah bekerja di sini dan jadi atasanku. Lebih baik kau jadi peramal,”
Tania nyengir lebar kemudian bangkit dari kursinya dan hendak menuju pantry, sejak pagi ia sibuk dengan
urusan rumah dan sebagainya, hingga urusan perutnya terlupakan.
Saat
selangkah lagi Tania menjejakkan kedua kakinya ke pintu masuk, ia mendengar
suara Bernice dan rekan dari divisi lain yang tidak begitu ia kenal dekat.
“Dengan siapa katamu?!” Bernice berjengit.
“Jerry.
Kau tahu, kan? Aku melihatnya kemarin.”
“Jerry,
Jerry yang itu? Tania-Jerry. Uhm, Jerry suami Tania?” tanya Bernice tak
percaya.
“For Gucci’s sake, Bernice. Yeah, suami
Tania. Aku melihat Jerry bersama Gwen. Pacar barunya itu. Gwen bahkan bercerita
akan bertemu Jerry malam ini. Apakah Tania tidak bicara apapun denganmu?
Kupikir seharusnya Tania…”
“Ehem,”
Tania berdehem, menghentikan percakapan keduanya dan masuk dengan wajah lugu.
Ia menuju kulkas dan membukanya dengan satu tangan, mengamati isi lemari es dan
mencari-cari apakah ada makanan yang bisa dimasukkan ke microwave untuk dimakan atau tidak. Oh, sungguh. Dia berniat
melihat Gwen dan memasukkan wanita itu ke dalam microwave.
***
Beruntungnya
Jerry masih mengenakan akun Facebook
yang sama, password yang sama,
sehingga Tania bisa membaca pesan-pesan yang diterima Jerry dari Gwen. ‘Tempat
biasa, my dear’, ‘Anakku? Kami
bergantian menjaga’, ‘Bisakah kau tinggalkan istrimu dan oh, apa yang kau
tunggu dari ini semua, Jerry?’, ‘Let’s
skip this. We have talked about Tania
so many times.’, ‘Done my job, let’s
meet!’.
Hati
Tania seolah terbakar membaca percakapan-percakapan singkat itu, dan
lebih-lebih mereka membahas dirinya. Pesan terakhir adalah beberapa menit yang
lalu. Bersyukurlah pada kebiasaan-kebiasaan kecil Jerry yang Tania ingat di
luar kepala, seperti Jerry lebih senang berkomunikasi lewat Facebook dibanding akun sosial media
lainnya, Jerry lebih senang berada di café seberang kantornya dan menghabiskan
waktu di sana, Jerry juga… ah, ah!
Tania menghentikan ingatannya.
Tania
melangkahkan kakinya ke dalam café, aroma kopi menguar dari dalam dan menggoda
Tania yang memang pencinta kopi. Tapi tunggu dulu, sosok itu beberapa meter
jaraknya dari Tania yang sedang berdiri di dekat meja kasir. Pria yang sudah
lama tak ingin Tania temui lagi, atau wajah pria yang selama ini membuat
hatinya perih dan sakit.
Ia
melihat seorang wanita berambut sebahu, duduk berhadapan dengan Jerry. Dan
lihat, tangan Jerry mengenggamnya. Oh, lihat lagi, itu pasti Gwen, yang
membalas genggaman Jerry tak kalah erat. Liuk tubuh wanita itu menggoda Jerry,
caranya duduk, caranya berpakaian. Dan Tania tak sudi lagi mematung di
tempatnya berdiri sekarang.
“Hai,
Jerry,” ia menyunggingkan senyumnya saat menatap mata Jerry yang membulat
karena terkejut, tapi Tania mengalihkan pandangannya dan menatap wanita yang
bersama suaminya itu, “Dan kau pasti Gwen,” Tania mengangguk. “Bisakah kita
bicara berdua, Jerry?”
“Apa
yang kau lakukan di sini?” Jerry bertanya, setengah kesal saat keduanya menjauh
dari Gwen karena permintaan Tania yang tanpa toleransi.
“Dan
apa yang kau lakukan bersamanya?” Tania balas bertanya.
“Bagaimana
kabar Leo?” Jerry mengalihkan pembicaraan.
Tania
memutar bola matanya. “Kalau kau ingin bersamanya, then just let me go. Pilihan yang terbaik adalah kita berpisah,
bercerai. Kau bersama dengan wanita itu, dan biarkan aku tinggal bersama Leo.
Aku tidak akan menuntut apapun darimu. Oke?” Tania hampir-hampir memohon pada
Jerry.
Jerry
menghela napas, ia meletakkan kedua tangan di pinggangnya. “Pulanglah,” ia
hanya mengucapkan sepatah kata, berbalik dan menggandeng tangan Gwen yang
menatap Tania kesal, kemudian mereka pergi lebih dahulu.
Tania
menutup wajahnya, merasa bersalah telah membuat hatinya tercabik-cabik oleh
keinginannya berpisah dengan Jerry, dan bimbang pada hidupnya kelak. Maka, ia
mengeluarkan ponsel dari tas tangannya, menekan tombol 2 dan membangunkan nada
dering milik Abraham.
***
“Ya,
dan ‘pulanglah’. Begitu. Kau tahu apa maksudnya, Bram? Waktu aku pergi bersama
teman-temanku dan katanya ‘pulanglah’ lalu aku harus mengurus Leo dan rumah.
Bahkan Jerry lebih senang memerintahku. Menyuci pakaiannya, mengurus Leo,
memasak untuknya, saat Jerry pulang dalam keadaan mabuk, kau tahu apa yang
harus kulakukan? Dia memerintahku untuk menyiapkan apapun yang dia butuhkan,
dan dia bisa langsung tidur tanpa bertanya apakah aku lelah sehabis kerja atau
tidak. Dan sekarang? ‘Pulanglah’, kulanjutkan apa yang tersimpan di benaknya, ‘Pulanglah, kehadiranmu mengangguku dan Gwen’,”
cerita Tania tak henti.
Abraham
memperhatikan Tania dengan seksama saat Tania pada akhirnya menatap Abraham
dengan mata hampir berkaca-kaca. “Lalu?”
“Lalu,”
Tania menelan ludah dan terdiam sejenak, “Aku ingin berpisah dengannya, tapi
bahkan untuk berpisah pun begitu sulit.”
“Kau
perlu melayangkan surat perceraian dan menuntutnya telah berselingkuh. Aku…,”
Abraham berdehem, “Aku akan menemanimu. Setidaknya untuk sekarang—” pria itu
menegaskan, “Jika kau butuh aku, aku akan ada untukmu.”
Tania
terperangah. Ia mengenal Abraham sejak ia pindah bekerja di tempatnya sekarang.
Ia bersikap biasa saja karena tidak ada yang perlu dibanggakan tentang dirinya,
seorang wanita yang ditinggalkan suaminya. Tapi Abraham waktu itu tahu, dan
memperlakukannya sama seperti wanita lainnya. Kini ketika tangan pria itu
menyentuh bahunya lembut, ia merasakan empati yang cukup dalam dari pria itu,
dan pria itu bersedia menemaninya.
Semua
orang di kantor tahu, bahwa perhatian Abraham lebih daripada kepedulian seorang
atasan terhadap bawahan, atau perhatian seorang teman. Kehadiran Abraham
membuatnya cukup terkesan, dan Abraham tidak menyembunyikan perasaan itu. Bagi
Tania, Abraham mungkin mengikis perasaannya terhadap Jerry, Abraham mungkin
merupakan sosok pangeran yang lain yang diimpikan Tania, tapi ia tidak berani
melangkah lebih jauh.
***
Tania
mengetik dengan cepat di layar ponselnya, membalas singkat mengenai ajakan
makan malam Abraham sepulang kerja.
“No, thanks,” balas Tania.
“Ada masalah?” Abraham
membalasnya.
“Tidak. Aku meninggalkan Leo lama di penitipan. Aku akan menemaninya
sepulang kerja.”
“Mau kutemani?”
Again!
Tania mendesah, sulit untuk membalas, lebih sulit lagi waktu mengirimnya. “Thanks but it is only
me and my dear child.”
Kalau
perasaan-perasaan Abraham kepadanya terus mengalir deras seperti ini, ia tahu
ia tidak akan bisa mengendalikan dirinya sendiri. Ia mungkin akan menerima dan
haus akan kasih sayang dari Abraham, hidup Leo akan lebih terjamin dengan
kehadiran seorang Ayah baru—mungkin. Tapi sialnya nama Jerry bersarang di
benaknya. Keluarga kecilnya. Keluarga Jerry. Keluarga Tania. Perasaannya pada
Jerry mungkin sudah hilang, tapi tanggung jawabnya terhadap Leo tidak akan pernah
berhenti.
Entah
kenapa seakan dunia sedang menyudutkannya, sebuah panggilan masuk dari nomor
tak dikenal meneleponnya terus-menerus.
“Halo?”
Tania memulai percakapan, detak jantungnya semakin kencang seiring detik-detik
menegangkan berlalu dalam percakapan itu. Wanita yang meneleponnya mengabarkan
bahwa Leo kini berada di rumah sakit, tempat penitipan itu mengantar anaknya ke
rumah sakit saat Leo muntah-muntah tadi siang.
Tania
bergegas mencegat angkutan umum di jalan raya, sepanjang perjalanan tangannya
sibuk menelepon Abraham, tapi pria itu tidak mengangkatnya. Pilihan terakhirnya
adalah menelepon Jerry.
***
Mungkin
Leo sedang kurang sehat saat pergi ke sekolah tadi, sehingga saat Leo berada di
penitipan anak, kondisi Leo memburuk dan memuntahkan semua isi perutnya
berkali-kali. Hati Tania sedikit tenang saat Leo sudah tidak menangis saat
pertama kali dokter dan perawat memeriksa tubuhnya. Namun kehadiran Jerry
membuatnya nyaris sakit kepala.
“Apa
yang kau lakukan?” pertanyaan Jerry sedikit menyinggung perasaannya.
“Aku
merawatnya.”
“Lihat,”
Jerry menunjuk sebuah kamar tempat Leo dirawat, “Ini yang kau bilang merawat?!”
Jerry hampir berteriak.
Tania
menghela napas. “Dan lihat,” Tania mengarahkan jari telunjuknya tepat di depan
Jerry. “Apa yang dilakukan seorang Ayah sepertimu? Bermain dengan wanita lain?
Menghabiskan uang? Meninggalkan anak satu-satunya dan bahkan tak pernah tahu
kabarnya sama sekali! Menurutmu, pria seperti ini, layak disebut Ayah?” sergah
Tania. “Oke. Aku tahu Leo hanya sakit seperti anak kecil lainnya, tapi mungkin
anak kecil yang lain mendapat perhatian dari Ayahnya, saat ia sakit, saat ia
ulang tahun, saat mengambil rapor, saat bermain, bahkan saat ia tidur!” seru
Tania.
“Cukup!”
Jerry membentaknya.
“Tidak,”
lanjut Tania cepat. “Aku memberimu pilihan, kau bisa menerima surat perceraian
kita, atau kau kembali—bukan demi aku, tapi demi Leo. Saat kita berpisah,
pergilah sejauh mungkin, jangan pernah hubungi aku lagi. Tapi kalau kau
memutuskan untuk kembali, tinggalkan Gwen, dan semua yang membuatmu berubah
seperti ini,” Tania mengucapkannya keluh kesahnya hingga lupa bagaimana cara
bernapas, dadanya terasa sesak, tapi ia tahu ia harus membantu Jerry membuat
keputusan, sekaligus menjelaskan ke mana seharusnya ia melangkah di masa depan.
Jerry
tidak mengucapkan sepatah katapun, kelihatannya ada perkataannya yang mengena
di hati Jerry, atau Jerry hanya malas berdebat dengannya seperti ketika mereka
bersama dulu. Tapi tidak apa-apa, Tania tahu cepat atau lambat, mereka harus membicarakan
permasalahannya kembali.
***
Tania
merias wajahnya secantik mungkin, ia mengenakan gaun yang sangat ia sukai, ia
tidak tahu mengapa ia berusaha melakukan yang terbaik, mungkin juga karena
Tania menganggap ini adalah pertemuan terakhirnya dengan Jerry. Yap, benar,
Jerry menghubunginya sebulan kemudian setelah kejadian mereka di rumah sakit.
Rasanya sudah lama sekali hingga akhirnya Jerry memutuskan untuk bertemu
dengannya.
Tania
kemudian mengeluarkan ponselnya dari tas tangan hitamnya, ia mencari nama
Abraham di salah satu aplikasi sosial medianya. “Hai,
Bram. Hari ini aku bertemu dengan Jerry, mungkin kami akan bercerai setelah
ini, aku juga tidak berani mengharapkan pernikahan kami kembali baik. Tapi satu
hal yang aku ingin kau tahu, just let me
walk in my own way, and u too. We no need to be in relationship, unless a very
best friend,” setelah
mengetik demikian, hati Tania terasa ringan, satu masalah terselesaikan.
Ia
masuk ke sebuah restoran yang tak pernah ia singgahi, kemudian matanya dengan
cepat menangkap sosok Jerry yang tengah duduk di meja sudut, membelakangi pintu
masuk. Tania memantapkan langkahnya, berjalan selangkah demi selangkah dan
duduk tepat di hadapan Jerry. Ia telah menyiapkan hatinya kali ini, untuk itu
ia tersenyum saat menyapa pria yang masih menjadi suaminya itu.
“Kau
sudah lama?” tanya Tania.
Jerry
menggeleng. Tania memandang pria itu, wajahnya terlihat lebih tirus, sedikit
bayangan hitam di bawah matanya, Tania bertanya-tanya dalam hati apakah Jerry
mabuk semalam.
“Kalau
kau ingin tahu apakah aku mabuk atau tidak, well,
jawabannya tidak,” Jerry membuka suara. Tania mendengar dan membulatkan
mulutnya, kemudian mengangguk-angguk samar, menutupi keterkejutannya.
“Jadi
kau mau pesan makan apa?” tanya Tania.
“Tidak,
kita akan membicarakan hal yang kau mau sebulan lalu,” balas Jerry.
“Oke,”
Tania kembali duduk tegak, membiarkan kedua telinganya menangkap semua
keputusan pria di hadapannya. “Aku sudah menyiapkan berkas-berkas yang kuajukan
untuk di bawa pada saat sidang perceraian,” Tania meletakkan kertasnya di atas
meja, “Kita bisa sama-sama mengatur alasan perceraian kita, kupikir, bercerai
baik-baik lebih mudah daripada harus mengajukan tuntutan, uh-oh, aku tak tahu
bagaimana mengurus ini. Kau ada ide?” tanya Tania.
Jerry
menaikkan alisnya. “Apa pria itu membuatmu bahagia?”
“Pria
mana?” Tania bertanya spontan, tapi sepersekian detik kemudian mengerti, “Oh,
Bram. Yeah, sangat. Aku bahagia menjadi temannya,” balas Tania sambil tersenyum
senang.
“Bukan
kekasihnya?” Jerry bertanya lagi.
Tania
mengerutkan dahinya, “Bukan. Kita tidak sedang membicarakannya, kan?”
“Ya,
tidak. Bukan dia, tapi kau,” balas Jerry tak sabar.
“Aku?”
“Kau
tetap polos seperti biasanya,” Jerry tertawa pelan, kemudian berdehem lagi,
“Kau tidak sedang menjalin hubungan dengannya?”
Giliran
Tania yang tertawa, ia menyodorkan ponselnya ke arah Jerry, “Kau bisa
membacanya untuk membuktikan hubunganku dengan Abraham. Aku tidak sepertimu,” sindir
Tania.
Jerry
menatap Tania sekilas kemudian meraih ponsel Tania. Tania menunggu pria itu
membaca pesan-pesan di dalam sana, tapi Tania tidak peduli. “Kau tidak berani
mengharapkan pernikahan kita kembali?” tanya Jerry, pria itu mengembalikan
ponsel milik Tania.
Tania
mengangguk. “Sudahlah. Jadi seperti pertanyaanku tadi, apa kau ada ide untuk
mengurus ini lebih cepat?”
Jerry
mendesah. “Aku meninggalkan Gwen,” katanya lirih.
Tania
terdiam, terkejut. “Ha?”
“Seperti
katamu, aku memutuskan hubunganku dengannya. Dan aku ingin kembali padamu,”
raut wajah Jerry terlihat sangat serius sehingga Tania tak lagi mengira pria
itu sedang bercanda.
“Mengapa?”
“Karena
Leo, dan… Tania. You are my family after
all. Aku tidak sadar sedang menyakitimu, aku tidak sadar sedang merusak
sebuah keluarga yang seharusnya bisa bahagia,” ungkap Jerry, “Karenanya aku
menemui Gwen beberapa hari setelah kemunculanmu sebulan yang lalu, aku menemuinya untuk
membicarakan ini. Lalu untuk meyakinkan diriku bahwa aku akan kembali padamu
tanpa menyakitimu, aku mencoba untuk tidak melakukan hal-hal yang membuatmu
menderita, termasuk, mabuk hingga pagi. Sebulan adalah waktu yang tidak pernah
cukup bagiku untuk membuktikan semua ini, yang kutakutkan adalah aku kembali
menyakitimu. Tapi, keinginanku untuk kembali lebih besar, dan aku akan
bertanggung jawab untuk semua masalah yang pernah kulimpahkan kepadamu,
termasuk… menjadi Ayah yang baik untuk Leo, dan suami yang baik untukmu.”
Saat
mendengar perkataan Jerry yang panjang itu, perasaan hangat mengalir dalam hati
Tania, dan berkas-berkas perceraian itu tidak lagi penting di matanya.
“So, will you forgive me?” tanya Jerry.
Tania
mengangguk, dan saat itu air mata bergulir di wajahnya dan juga wajah Jerry. Saat
beban di hatinya yang tak bisa ia utarakan seberat apa, Tania kini merasa jauh
lebih ringan. Mungkin pada kenyataannya hubungan yang ia jalin tidak sempurna,
suaminya juga tidak, bahkan dirinya pun tidak lebih baik dari Jerry. Tapi, ia
telah memutuskan untuk menikah dengan Jerry 2 tahun yang lalu, dan seburuk
apapun pangeran yang membangun hidup bersamanya 2 tahun lalu, kini dan kelak,
Tania tahu ia tak perlu mencari pangeran lain yang lebih baik dan lebih
sempurna.
Dan kini, Cinderella pun tahu hidup bersama pangeran
yang ia pilih bukan keputusan yang menyedihkan, karena di akhir cerita selalu
ada kalimat ‘dan mereka pun hidup bahagia selamanya’.
***
Written by: Johana Melisa
Inspired by: Half true story from a married woman & half wishes
“Love
suffers long and is kind; love does not envy; love does not parade itself, is
not puffed up; does not behave rudely, does not seek its own, is not provoked,
thinks no evil; does not rejoice in iniquity, but rejoices in the truth; bears
all things, believe all things, hopes all things, endures all things. Love never
fails,” – 1 Corinthians 13:4-8.
No comments:
Post a Comment