"How gentle is the rain
That falls softly on the meadow
Birds high up on the trees
Serenade the clouds with their melody
Oh! see there beyond the hills
The bright colors of the rainbow
Some magic from above
Made this day for us
Just to fall in love." - Lover's Concerto - Kelly Chen
------------------------------------------------------------------
Amy menggaruk hidungnya
pelan. Rasa-rasanya belum pernah hidungnya terasa segatal ini. Ia menggelengkan
kepalanya perlahan, seolah-olah dengan begitu ia bisa mengusir rasa gatal itu.
Kedua bola matanya bergerak dari kiri ke kanan dengan cepat, raut wajahnya
tampak serius memperhatikan tulisan-tulisan yang tercetak dalam sebuah buku,
beberapa kali ia menggoyang-goyangkan kaki sehingga suara gemericing pelan yang
berasal dari gelang kakinya terdengar. Lalu bunyi bola memantul semakin lama
semakin mendekat ke arahnya.
And say once again you love me
And if your love is true
Everything will be just as wonderful." - Lover's Concerto - Kelly Chen
-------------------------------------------------------------------------------------
"Assumptions are the termites of relationship." - Henry Winkler
Amy menengadahkan
wajahnya yang tampak terusik. Sebuah bola basket mendarat perlahan tepat di
bawah kakinya. Beberapa detik kemudian suara langkah kaki yang beradu dengan
lantai licin lapangan basket itu bergerak mendatangi dirinya.
“Ahhh….,” Adam mendesah
panjang-panjang saat duduk di samping Amy. Ia mengambil botol minum dari tas
ransel Amy, kemudian meneguknya dengan cepat.
Amy menoleh ke samping
kiri, memperhatikan Adam yang sekarang terlihat basah hampir di sekujur
tubuhnya. Kalau sudah begini, ia tahu apa yang harus dilakukan. Menggeser dua
atau tiga langkah dari tempatnya duduk—menghindar dari Adam. Baru saja ia
memikirkannya, namun Adam bertindak memeluknya terlebih dahulu, tidak peduli
kalau seragam basket yang dikenakannya seolah-olah telah menempel di tubuh
tingginya bagaikan lem.
Amy berteriak protes,
menjauhkan Adam dari dirinya sementara pria itu tertawa terbahak-bahak. Awalnya
Amy sudah memasang wajah kesal, namun melihat Adam yang tertawa lepas dan
lesung pipi yang tercetak jelas di wajahnya, membuat ia tak tahan untuk ikut
tertawa.
“Kau basaaahhhh!”
gerutu Amy.
“Kau kan tidak
menghindar,” Adam mengelak.
“Aku baru saja mau
menghindar,” Amy menyerukan protesnya bersamaan dengan Adam yang menyuarakan
kalimat yang sama. Mata Amy membulat semakin kesal, rupa-rupanya Adam tahu apa
yang hendak diucapkan dirinya.
“Aku sudah selesai. Kau
mau kuantar pulang?” Adam menawarkan diri.
Amy mengangguk.
Kebiasaan baru dirinya setelah jam kuliahnya selesai adalah menghabiskan waktu
bersama Adam. Pukul lima sore Adam lebih sering bermain basket di lapangan
kampus tempat ia belajar. Amy akan mulai menunggu Adam selesai bermain dengan
duduk di kursi penonton, membuka novel yang dipinjam atau yang baru saja
dibelinya di toko buku, membacanya hingga larut dan mendapati Adam menganggunya
setelah pria itu selesai bermain. Dan begitulah hari-harinya terisi, berlalu
dengan sangat cepat saat bersama dengan Adam, dan berharap bangun dari tidurnya
ia dapat kembali menemui Adam—secepatnya.
“Ah, aku tahu apa yang
kau pikirkan!” mata Adam menatap Amy saat menyerukan perkataannya.
“Apa?” Amy bertanya
acuh tak acuh.
“Kau tidak ingin
pulang, benar kan? Kau ingin bersamaku sepanjang malam,” ujarnya penuh percaya
diri.
Amy tertawa dan
menggelengkan kepala, “Tidak.”
“Itu berarti iya,”
jawab Adam.
Amy membulatkan
matanya. “Siapa bilang?”
“Kau mau ke mana?”
Gadis itu mendesah,
lalu kemudian tersenyum. “Ke mana saja!”
Adam tersenyum, meraih
tangannya dengan erat dan membawanya masuk ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan
Amy tahu bahwa ia tidak akan pernah bosan menghabiskan waktu bersama Adam.
Duduk di dalam café, mengamati pelanggan café yang lain, menebak-nebak apa yang
sedang mereka bicarakan.
“Kau lihat pria di
sana?” Adam mengarahkan telunjuknya ke arah belakang tubuhnya, “Dia seorang
agen multilevel yang sedang menawarkan produk,” jelasnya.
Amy memajukan tubuhnya,
mendengar Adam dengan cermat. Adam membasahi bibir dengan lidahnya lalu
melanjutkan perkataannya, “Lalu wanita di depannya, sejak tadi menguap dan
sebenarnya ia ingin berkata ‘Maaf, saya ada urusan dan harus segera pulang’.”
“Tidak, tidak. Wanita
itu mendengarnya dengan serius, kau tidak lihat, tapi dahinya sejak tadi
berkerut-kerut, dan agen multilevel itu tidak buruk,” bantah Amy.
Lima menit kemudian
wanita itu mengambil ponselnya dan sekejap saja, wanita itu bangkit berdiri,
berjalan melewati meja mereka, dan melenggang keluar dari café. Amy tertawa tak
percaya. “Hey, kau bahkan membelakangi mereka!” protes Amy tidak terima.
Adam tertawa puas.
“1-0. Giliranmu, Amy,” ujarnya.
Atau, menghabiskan
waktu hanya dengan menonton siaran televisi di rumah Adam, memutar film-film
yang baru saja keluar, tapi Adam sudah memilikinya terlebih dahulu. Mengunyah snack dan terkadang Adam memeluknya
sepanjang film diputar. Atau bahkan, saling memandang tanpa berbicara apa-apa,
namun keduanya bisa tersenyum tanpa disangka-sangka.
“Apa yang kau
pikirkan?” tanya Amy saat mendapati Adam memperlihatkan senyumannya.
Adam menggeleng. “Tidak
ada,” jawabnya.
“Kau bohong,” Amy
mengernyit, bersiap-siap mengarahkan telunjuknya ke pinggang Adam, kemudian
menggelitiknya hingga menyerah.
Adam menghindar sambil
tertawa, “Baiklah, baiklah,” serunya disela-sela tawa, “Kemarilah,” Adam
mengulurkan tangannya dan Amy menyambutnya tanpa ragu. Saat-saat itu, Adam
meraihnya dalam sebuah pelukan hangat, kemudian ia membisikkan kata-kata di
telinga Amy, bahwa ia sangat menyayangi Amy.
***
"You hold me in your armsAnd say once again you love me
And if your love is true
Everything will be just as wonderful." - Lover's Concerto - Kelly Chen
“Ayahku
meninggal.”
Kata-kata
itu bergema pada diri Amy. Kematian Ayah Adam berlalu begitu cepat dan kehidupan
Adam berubah drastis. Ada kalanya Adam harus melarutkan diri dalam perusahaan
Ayahnya yang ditinggal dengan setumpuk hutang dengan masa jatuh tempo yang
sangat singkat.
Ada kalanya
Adam bekerja paruh waktu pada sebuah restoran, bekerja paruh waktu pada
perusahaan multilevel, pada perusahaan jasa. Sifat Adam berubah hingga
terkadang Amy sulit mengenalinya. Menanggung seorang Ibu dengan adik Adam tampaknya
cukup sulit bagi Adam untuk memperhatikan kondisi dirinya sendiri.
“Kau makan
mie instan lagi,” Amy mengeluh.
Adam
mengangguk dan tetap memasukkan mie instan ke dalam mulutnya, “Aku bisa hidup
walau setiap hari makan ini,” katanya ringan.
Ada saat-saat di mana Adam menatapnya dan berkata ‘maafkan aku’.
Karena apa? Menurut Adam, sebagai kekasihnya ia tak mampu memberikan apa-apa
pada Amy. Amy mengangguk mengerti dan yang ia tahu adalah semuanya akan
baik-baik saja.
“Bapak
Adam,” Amy berdehem pelan sambil tersenyum. Suara di seberang sana menjawab
panggilannya. “Aku sudah sampai, kau di mana?” Amy melanjutkan.
“Di
belakangmu,” suara di seberang ponselnya menjawab. Amy menoleh ke belakang dan
mendapati Adam yang kini jauh berbeda dari awal ia mengenalnya. Setelan jas
mahal yang melekat di tubuhnya, bersama dengan sepatu mengkilap di kedua
kakinya. Seorang anak direktur di salah satu perusahaan properti yang dulu
hampir bangkrut, sekarang menjadi salah satu perusahaan ternama. Adam sekarang
bukanlah seorang anak laki-laki dengan tubuh berkeringat dan cengiran jahil di
wajahnya.
Amy
memutuskan sambungan teleponnya kemudian berjalan mendekati Adam. “Kau sudah
siap meeting? Apakah kita segera makan
malam?”
“Yeap, tentu
saja. Kau dari mana?”
“Pulang
kerja. Aku menyetir mobil ke sini dan mampir di kantormu, lalu—” perkataan Amy
terputus saat ia melihat seseorang yang cukup familiar di matanya. Seketaris
Adam, atau asisten, atau apapun jabatannya, berlari kecil sambil memanggil nama
Adam.
Pria itu
menoleh, berbicara sejenak dengan wanita yang memanggilnya tadi. Kelanjutannya
Amy sudah membuat percakapan singkat di benaknya. Dan itu benar. Adam
mengakhiri pembicaraan antara dirinya dan si seketaris. Meletakkan tangan
kanannya di saku celana, sebelah tangannya lagi menggaruk dahinya yang Amy
yakin tidak dalam kondisi gatal.
“Amy, er—.
Kurasa malam ini tidak bisa. Aku ada meeting
lanjutan dan—”
“Ah, aku
mengerti,” jawab Amy singkat tanpa perlu mendengar penjelasannya. Ia membalikkan
badan, berjalan dengan langkah pasti ke arah mobilnya, meninggalkan Adam dengan
seketarisnya yang kembali berbicara, seolah-olah Amy memang tidak ada sejak
awal.
Suatu waktu
dalam beberapa bulan dan sekarang menjadi lebih sering. Saat-saat di mana Adam
selalu menemaninya dulu adalah hal-hal yang paling dirindukannya. Ketika Adam
membatalkan setiap acaranya hanya membuatnya semakin menjauhkan diri dari Adam.
Menurutnya, kehadiran si seketaris tadi seolah-olah seperti menggantikan posisi
dirinya kini. Amy menghela napas, mengusir pikiran buruk itu jauh-jauh.
Adam
melirik jam tangan yang melingkar di pergelangannya. Pukul 10 malam dan
pikirannya tertuju pada Amy. Apa yang sedang dilakukan wanita itu, bagaimana
perasaannya tadi. Meeting-nya sudah
selesai satu jam yang lalu, tapi relasi bisnisnya mengajaknya ke salah satu pub
di mana ia sebagai salah satu penanam modal di sana. Mau tak mau Adam
mengikutinya. Ia bahkan tak sempat memegang layar ponselnya dan memberi kabar
pada Amy bahwa ia akan pulang larut malam ini.
Beberapa
gelas diteguknya dan semuanya berlalu begitu cepat. Malam sudah berubah hampir
pagi ketika mereka berpisah. Adam mengendarai mobilnya dan mengantar Elisa, si
seketaris, pulang. Elisa dalam keadaan setengah sadar menyandarkan penuh
tubuhnya pada tubuh Adam. Dan hanya Tuhan yang tahu bahwa itu tidak disengaja.
Tapi Amy tidak tahu.
Saat tubuh
ramping wanita itu menempel pada tubuh Adam, betapa hal yang ingin dilakukannya
adalah menjauhkan wanita itu dari Adam. Namun Amy melihat seketaris itu mabuk.
Bukankah Adam meeting? Apa yang
dilakukannya bersama wanita itu di pub? Dan segala pertanyaan berhamburan liar
di benaknya. Tapi tidak ada satupun yang keluar dari mulutnya.
Pertemuan-pertemuan
selanjutnya dengan Amy bagai neraka di bumi. Saat ia menyadari wanita itu tak
lagi percaya sepenuhnya padanya, betapa ia ingin mengguncang bahu kekasihnya
dan mengatakan bahwa ia sangat mencintai gadis yang menemaninya selama 6 tahun
terakhir. Ponselnya berdering dan wanita itu menjauhkan tangannya dari genggaman
Adam.
“Mungkin
seketarismu menelepon,” celetuknya ringan. Dan hati Adam memanas karena ucapan
ringan itu.
Saat makan
malam dan ia melihat bagaimana Amy berusaha tersenyum walau Adam tahu tidak ada
kebahagiaan dari dalam hatinya. Senyum itu senyum paksaan seolah-olah hubungan
antara ia dan Amy hanyalah kebiasaan mereka.
“Aku melihatmu duduk di
meja nomor 8. Ada apa denganmu? Kau bersama kekasihmu, kan?” ia membaca pesan singkat yang muncul di salah satu aplikasi sosial
dari ponselnya. Seorang sahabat lama.
Adam
membalasnya, “Yeah. Hanya gusar. Hubunganku dengannya tidak begitu
baik sekarang.”
“Ada apa?”
"I need a break for a moment
with her. You think?” Adam mengetiknya
singkat.
“If u feels to, just do it.”
Suatu
ketika Adam meninggalkan ponselnya. Dan Amy tak sengaja membaca pesan yang
ditulis Adam dan seorang wanita bernama Celine beberapa hari yang lalu. Amy
membaca pesan itu berulang-ulang dan ia tahu, ia mungkin berada di akhir
hubungannya bersama Adam.
“You need a break?” Amy bertanya tak
percaya.
“I won’t take any break for us,” balas
Adam. “Percayalah,” lanjut pria itu.
“Bagaimana
menurutmu aku harus percaya?”
“Just trust me, Amy,” Adam menghela
napas.
“Then why u said this?”
“Aku hanya
tidak tahu harus melakukan apa saat itu. Hanya itu.”
Amy
berusaha menarik napas dalam-dalam. “Say
once again you love me.”
“I do. I always do.”
“Saat itu
dalam pikiranku hanya mencari uang. Sehingga pekerjaan apapun kulakukan,” Adam
berkata.
Amy
mengangguk. “Apapun?”
“Yeah, tapi
aku tidak menjual hatiku untuk siapapun, kau percaya?”
“I am trying to,” balas Amy sambil
mengangkat bahu. “Lalu?”
“Lalu kau
adalah Amy-ku yang marah dan cemburu padaku padahal aku begitu menyayangimu.”
“Kau tidak
membuktikannya saat seketarismu memeluk tubuhmu.”
“Aku bersama
dengan relasi bisnisku malam itu. Ia yang mengajakku pergi dan kemudian kami di
sana hingga larut malam. Elisa dalam keadaan mabuk sehingga ia bahkan tidak
tahu apa-apa keesokkan harinya bahwa ia pernah memelukku.”
“Okay. Your Celine?”
“She is not mine. Dia sahabat lamaku.”
“Why always woman?”
“You are my only, trust me.”
“Well, I will try.”
“Don’t. Please don’t try because I will never
asking for break. Let’s get married.”
"Now, I belong to you
From this day until forever
Just love me tenderly
And I'll give to you
Every part of me.
Oh! Don't ever make me cry
Through long lonely nights without love
Be always true to me
Keep this day in your heart eternally." - Lover's Concerto - Kelly Chen
***
Written by : Johana Melisa
No comments:
Post a Comment