Mosaic Rile: Once Again You Love Me

Tuesday, March 17, 2015

Once Again You Love Me


"How gentle is the rain
That falls softly on the meadow
Birds high up on the trees
Serenade the clouds with their melody
Oh! see there beyond the hills
The bright colors of the rainbow
Some magic from above
Made this day for us
Just to fall in love." - Lover's Concerto - Kelly Chen
------------------------------------------------------------------

Amy menggaruk hidungnya pelan. Rasa-rasanya belum pernah hidungnya terasa segatal ini. Ia menggelengkan kepalanya perlahan, seolah-olah dengan begitu ia bisa mengusir rasa gatal itu. Kedua bola matanya bergerak dari kiri ke kanan dengan cepat, raut wajahnya tampak serius memperhatikan tulisan-tulisan yang tercetak dalam sebuah buku, beberapa kali ia menggoyang-goyangkan kaki sehingga suara gemericing pelan yang berasal dari gelang kakinya terdengar. Lalu bunyi bola memantul semakin lama semakin mendekat ke arahnya.

Amy menengadahkan wajahnya yang tampak terusik. Sebuah bola basket mendarat perlahan tepat di bawah kakinya. Beberapa detik kemudian suara langkah kaki yang beradu dengan lantai licin lapangan basket itu bergerak mendatangi dirinya.
“Ahhh….,” Adam mendesah panjang-panjang saat duduk di samping Amy. Ia mengambil botol minum dari tas ransel Amy, kemudian meneguknya dengan cepat.
Amy menoleh ke samping kiri, memperhatikan Adam yang sekarang terlihat basah hampir di sekujur tubuhnya. Kalau sudah begini, ia tahu apa yang harus dilakukan. Menggeser dua atau tiga langkah dari tempatnya duduk—menghindar dari Adam. Baru saja ia memikirkannya, namun Adam bertindak memeluknya terlebih dahulu, tidak peduli kalau seragam basket yang dikenakannya seolah-olah telah menempel di tubuh tingginya bagaikan lem.
Amy berteriak protes, menjauhkan Adam dari dirinya sementara pria itu tertawa terbahak-bahak. Awalnya Amy sudah memasang wajah kesal, namun melihat Adam yang tertawa lepas dan lesung pipi yang tercetak jelas di wajahnya, membuat ia tak tahan untuk ikut tertawa.
“Kau basaaahhhh!” gerutu Amy.
“Kau kan tidak menghindar,” Adam mengelak.
“Aku baru saja mau menghindar,” Amy menyerukan protesnya bersamaan dengan Adam yang menyuarakan kalimat yang sama. Mata Amy membulat semakin kesal, rupa-rupanya Adam tahu apa yang hendak diucapkan dirinya.
“Aku sudah selesai. Kau mau kuantar pulang?” Adam menawarkan diri.
Amy mengangguk. Kebiasaan baru dirinya setelah jam kuliahnya selesai adalah menghabiskan waktu bersama Adam. Pukul lima sore Adam lebih sering bermain basket di lapangan kampus tempat ia belajar. Amy akan mulai menunggu Adam selesai bermain dengan duduk di kursi penonton, membuka novel yang dipinjam atau yang baru saja dibelinya di toko buku, membacanya hingga larut dan mendapati Adam menganggunya setelah pria itu selesai bermain. Dan begitulah hari-harinya terisi, berlalu dengan sangat cepat saat bersama dengan Adam, dan berharap bangun dari tidurnya ia dapat kembali menemui Adam—secepatnya.
“Ah, aku tahu apa yang kau pikirkan!” mata Adam menatap Amy saat menyerukan perkataannya.
“Apa?” Amy bertanya acuh tak acuh.
“Kau tidak ingin pulang, benar kan? Kau ingin bersamaku sepanjang malam,” ujarnya penuh percaya diri.
Amy tertawa dan menggelengkan kepala, “Tidak.”
“Itu berarti iya,” jawab Adam.
Amy membulatkan matanya. “Siapa bilang?”
“Kau mau ke mana?”
Gadis itu mendesah, lalu kemudian tersenyum. “Ke mana saja!”
Adam tersenyum, meraih tangannya dengan erat dan membawanya masuk ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan Amy tahu bahwa ia tidak akan pernah bosan menghabiskan waktu bersama Adam. Duduk di dalam café, mengamati pelanggan café yang lain, menebak-nebak apa yang sedang mereka bicarakan.
“Kau lihat pria di sana?” Adam mengarahkan telunjuknya ke arah belakang tubuhnya, “Dia seorang agen multilevel yang sedang menawarkan produk,” jelasnya.
Amy memajukan tubuhnya, mendengar Adam dengan cermat. Adam membasahi bibir dengan lidahnya lalu melanjutkan perkataannya, “Lalu wanita di depannya, sejak tadi menguap dan sebenarnya ia ingin berkata ‘Maaf, saya ada urusan dan harus segera pulang’.”
“Tidak, tidak. Wanita itu mendengarnya dengan serius, kau tidak lihat, tapi dahinya sejak tadi berkerut-kerut, dan agen multilevel itu tidak buruk,” bantah Amy.
Lima menit kemudian wanita itu mengambil ponselnya dan sekejap saja, wanita itu bangkit berdiri, berjalan melewati meja mereka, dan melenggang keluar dari café. Amy tertawa tak percaya. “Hey, kau bahkan membelakangi mereka!” protes Amy tidak terima.
Adam tertawa puas. “1-0. Giliranmu, Amy,” ujarnya.
Atau, menghabiskan waktu hanya dengan menonton siaran televisi di rumah Adam, memutar film-film yang baru saja keluar, tapi Adam sudah memilikinya terlebih dahulu. Mengunyah snack dan terkadang Adam memeluknya sepanjang film diputar. Atau bahkan, saling memandang tanpa berbicara apa-apa, namun keduanya bisa tersenyum tanpa disangka-sangka.
“Apa yang kau pikirkan?” tanya Amy saat mendapati Adam memperlihatkan senyumannya.
Adam menggeleng. “Tidak ada,” jawabnya.
“Kau bohong,” Amy mengernyit, bersiap-siap mengarahkan telunjuknya ke pinggang Adam, kemudian menggelitiknya hingga menyerah.
Adam menghindar sambil tertawa, “Baiklah, baiklah,” serunya disela-sela tawa, “Kemarilah,” Adam mengulurkan tangannya dan Amy menyambutnya tanpa ragu. Saat-saat itu, Adam meraihnya dalam sebuah pelukan hangat, kemudian ia membisikkan kata-kata di telinga Amy, bahwa ia sangat menyayangi Amy.
 
***
"You hold me in your arms
And say once again you love me
And if your love is true
Everything will be just as wonderful." - Lover's Concerto - Kelly Chen
 
-------------------------------------------------------------------------------------

“Ayahku meninggal.”
Kata-kata itu bergema pada diri Amy. Kematian Ayah Adam berlalu begitu cepat dan kehidupan Adam berubah drastis. Ada kalanya Adam harus melarutkan diri dalam perusahaan Ayahnya yang ditinggal dengan setumpuk hutang dengan masa jatuh tempo yang sangat singkat.
Ada kalanya Adam bekerja paruh waktu pada sebuah restoran, bekerja paruh waktu pada perusahaan multilevel, pada perusahaan jasa. Sifat Adam berubah hingga terkadang Amy sulit mengenalinya. Menanggung seorang Ibu dengan adik Adam tampaknya cukup sulit bagi Adam untuk memperhatikan kondisi dirinya sendiri.
“Kau makan mie instan lagi,” Amy mengeluh.
Adam mengangguk dan tetap memasukkan mie instan ke dalam mulutnya, “Aku bisa hidup walau setiap hari makan ini,” katanya ringan.
Ada saat-saat di mana Adam menatapnya dan berkata ‘maafkan aku’. Karena apa? Menurut Adam, sebagai kekasihnya ia tak mampu memberikan apa-apa pada Amy. Amy mengangguk mengerti dan yang ia tahu adalah semuanya akan baik-baik saja.
 

“Bapak Adam,” Amy berdehem pelan sambil tersenyum. Suara di seberang sana menjawab panggilannya. “Aku sudah sampai, kau di mana?” Amy melanjutkan.
“Di belakangmu,” suara di seberang ponselnya menjawab. Amy menoleh ke belakang dan mendapati Adam yang kini jauh berbeda dari awal ia mengenalnya. Setelan jas mahal yang melekat di tubuhnya, bersama dengan sepatu mengkilap di kedua kakinya. Seorang anak direktur di salah satu perusahaan properti yang dulu hampir bangkrut, sekarang menjadi salah satu perusahaan ternama. Adam sekarang bukanlah seorang anak laki-laki dengan tubuh berkeringat dan cengiran jahil di wajahnya.
Amy memutuskan sambungan teleponnya kemudian berjalan mendekati Adam. “Kau sudah siap meeting? Apakah kita segera makan malam?”
“Yeap, tentu saja. Kau dari mana?”
“Pulang kerja. Aku menyetir mobil ke sini dan mampir di kantormu, lalu—” perkataan Amy terputus saat ia melihat seseorang yang cukup familiar di matanya. Seketaris Adam, atau asisten, atau apapun jabatannya, berlari kecil sambil memanggil nama Adam.
Pria itu menoleh, berbicara sejenak dengan wanita yang memanggilnya tadi. Kelanjutannya Amy sudah membuat percakapan singkat di benaknya. Dan itu benar. Adam mengakhiri pembicaraan antara dirinya dan si seketaris. Meletakkan tangan kanannya di saku celana, sebelah tangannya lagi menggaruk dahinya yang Amy yakin tidak dalam kondisi gatal.
“Amy, er—. Kurasa malam ini tidak bisa. Aku ada meeting lanjutan dan—”
“Ah, aku mengerti,” jawab Amy singkat tanpa perlu mendengar penjelasannya. Ia membalikkan badan, berjalan dengan langkah pasti ke arah mobilnya, meninggalkan Adam dengan seketarisnya yang kembali berbicara, seolah-olah Amy memang tidak ada sejak awal.
Suatu waktu dalam beberapa bulan dan sekarang menjadi lebih sering. Saat-saat di mana Adam selalu menemaninya dulu adalah hal-hal yang paling dirindukannya. Ketika Adam membatalkan setiap acaranya hanya membuatnya semakin menjauhkan diri dari Adam. Menurutnya, kehadiran si seketaris tadi seolah-olah seperti menggantikan posisi dirinya kini. Amy menghela napas, mengusir pikiran buruk itu jauh-jauh.
 

Adam melirik jam tangan yang melingkar di pergelangannya. Pukul 10 malam dan pikirannya tertuju pada Amy. Apa yang sedang dilakukan wanita itu, bagaimana perasaannya tadi. Meeting-nya sudah selesai satu jam yang lalu, tapi relasi bisnisnya mengajaknya ke salah satu pub di mana ia sebagai salah satu penanam modal di sana. Mau tak mau Adam mengikutinya. Ia bahkan tak sempat memegang layar ponselnya dan memberi kabar pada Amy bahwa ia akan pulang larut malam ini.
Beberapa gelas diteguknya dan semuanya berlalu begitu cepat. Malam sudah berubah hampir pagi ketika mereka berpisah. Adam mengendarai mobilnya dan mengantar Elisa, si seketaris, pulang. Elisa dalam keadaan setengah sadar menyandarkan penuh tubuhnya pada tubuh Adam. Dan hanya Tuhan yang tahu bahwa itu tidak disengaja. Tapi Amy tidak tahu.
 

Saat tubuh ramping wanita itu menempel pada tubuh Adam, betapa hal yang ingin dilakukannya adalah menjauhkan wanita itu dari Adam. Namun Amy melihat seketaris itu mabuk. Bukankah Adam meeting? Apa yang dilakukannya bersama wanita itu di pub? Dan segala pertanyaan berhamburan liar di benaknya. Tapi tidak ada satupun yang keluar dari mulutnya.
 

Pertemuan-pertemuan selanjutnya dengan Amy bagai neraka di bumi. Saat ia menyadari wanita itu tak lagi percaya sepenuhnya padanya, betapa ia ingin mengguncang bahu kekasihnya dan mengatakan bahwa ia sangat mencintai gadis yang menemaninya selama 6 tahun terakhir. Ponselnya berdering dan wanita itu menjauhkan tangannya dari genggaman Adam.
“Mungkin seketarismu menelepon,” celetuknya ringan. Dan hati Adam memanas karena ucapan ringan itu.
Saat makan malam dan ia melihat bagaimana Amy berusaha tersenyum walau Adam tahu tidak ada kebahagiaan dari dalam hatinya. Senyum itu senyum paksaan seolah-olah hubungan antara ia dan Amy hanyalah kebiasaan mereka.
“Aku melihatmu duduk di meja nomor 8. Ada apa denganmu? Kau bersama kekasihmu, kan?” ia membaca pesan singkat yang muncul di salah satu aplikasi sosial dari ponselnya. Seorang sahabat lama.
Adam membalasnya, “Yeah. Hanya gusar. Hubunganku dengannya tidak begitu baik sekarang.”
“Ada apa?”
"I need a break for a moment with her. You think?” Adam mengetiknya singkat.
If u feels to, just do it.”
 

Suatu ketika Adam meninggalkan ponselnya. Dan Amy tak sengaja membaca pesan yang ditulis Adam dan seorang wanita bernama Celine beberapa hari yang lalu. Amy membaca pesan itu berulang-ulang dan ia tahu, ia mungkin berada di akhir hubungannya bersama Adam.
You need a break?” Amy bertanya tak percaya.
I won’t take any break for us,” balas Adam. “Percayalah,” lanjut pria itu.
“Bagaimana menurutmu aku harus percaya?”
Just trust me, Amy,” Adam menghela napas.
Then why u said this?
“Aku hanya tidak tahu harus melakukan apa saat itu. Hanya itu.”
Amy berusaha menarik napas dalam-dalam. “Say once again you love me.”
I do. I always do.
 

“Saat itu dalam pikiranku hanya mencari uang. Sehingga pekerjaan apapun kulakukan,” Adam berkata.
Amy mengangguk. “Apapun?”
“Yeah, tapi aku tidak menjual hatiku untuk siapapun, kau percaya?”
I am trying to,” balas Amy sambil mengangkat bahu. “Lalu?”
“Lalu kau adalah Amy-ku yang marah dan cemburu padaku padahal aku begitu menyayangimu.”
“Kau tidak membuktikannya saat seketarismu memeluk tubuhmu.”
“Aku bersama dengan relasi bisnisku malam itu. Ia yang mengajakku pergi dan kemudian kami di sana hingga larut malam. Elisa dalam keadaan mabuk sehingga ia bahkan tidak tahu apa-apa keesokkan harinya bahwa ia pernah memelukku.”
Okay. Your Celine?
She is not mine. Dia sahabat lamaku.”
Why always woman?
You are my only, trust me.
Well, I will try.”
Don’t. Please don’t try because I will never asking for break. Let’s get married.
 
"Now, I belong to you
From this day until forever
Just love me tenderly
And I'll give to you
Every part of me.
Oh! Don't ever make me cry
Through long lonely nights without love
Be always true to me
Keep this day in your heart eternally." - Lover's Concerto - Kelly Chen
 
***
 Written by : Johana Melisa

This story inspired by : Lover's Concerto Song - Kelly Chen

 
"Assumptions are the termites of relationship." - Henry Winkler
  

No comments:

Post a Comment