Aku merasakan, bayangan
tinggi menjulang, berdiri di depan jendela berbingkai kotak-kotak. Aku tahu
kapan dia berdiri di depan jendela rumahnya, saat matahari nyaris tenggelam,
menampakkan sinar yang katanya seperti warna emas, percampuran sempurna pada
ciptaan yang sempurna.
Pikiranku beralih pada
sosok di rumah sebelah, tanganku mencari-cari kamera digital di atas mejaku.
Susah payah aku mengambilnya, mendekatkan benda itu ke sebelah mataku, lalu
menjepret objekku.
Dia. Aku hafal namanya,
usianya tanggal lahirnya—oh bukan. Dia bukan sosok orang yang kusukai. Bukan
pula seperti kisah kebanyakan-kalau dia adalah sosok tampan yang disukai oleh
gadis tetangganya, berharap bisa berkencan dengannya.
Tahu tidak? Aku buta.
Aku benci dia, Ash. Aku telah kehilangan semuanya karena Ash menabrakku. Aku
tak bisa sekolah karena aku tak sanggup menerima segala bentuk penghinaan.
Dua tahun aku tak bisa
melihat, seharusnya sekarang aku bisa kuliah, tapi aku malah jadi guru privat
piano di rumahku, dan terkadang, aku mengajar huru Braille kepada sesama orang buta.
Bisa bayangkan, betapa
aku menginginkan Ash merasakan penderitaan yang sama denganku. Aku ingin Ash
tidak bisa melihat warna lain selain hitam-putih.
***
Aku berjalan mendatangi
rumah Ash, untuk pertama kalinya. Ash, seorang berdarah Spanyol-Inggris. Kedua
orangtuanya setuju untuk menetap permanen di sini, di samping rumahku, atas
permintaan Ash.
Aku mengetuk pintunya
dan kurasa seseorang membuka pintunya. “Shandy?”
Aku terdiam. Aku
mencerna jenis suara hangat yang dimiliki pemilik suara itu, suara Ash. Aku
mendengar suara bisik-bisik di belakang Ash. Kurasa, yang berdiri di belakang
Ash itu adiknya, mungkin dengan saudara kembarnya. Ashley dan Ashleen.
Aku membuka suara, “Kembalikan
penglihatanku, Ash.”
Bisik-bisik itu
berhenti. Aku mendengar kedua saudara kembar Ash itu berjengit. Aku diam dan
berbalik pergi, namun sebuah tangan mencekal lenganku. Seketika, aku membeku.
“Baiklah,” jawabnya.
“Satu minggu waktunya,”
sambungku. Aku berjalan pergi.
Namun rupanya Ash
mengikutiku, aku lagi-lagi, merasakannya.
“Aku tidak akan menarik
ucapanku,” ujarku membuka suara.
“Bukan itu,” katanya, “Aku
punya syarat.”
“Tak ada syarat.”
“Selama seminggu, kamu
harus bersamaku,” dia meneruskan ucapannya.
Aku mengangguk begitu
saja. Lalu Ash menarik lenganku, dia menuntunku untuk jalan di sampingnya. Aku
tidak bisa mengelak. Mungkin aku memang harus bersabar menunggu 1 minggu ini
berlalu.
***
Aku bersama dengan Ash
sudah 3 hari. Lalu 4 hari lagi aku akan merebut kembali penglihatanku, dari
orang yang sudah merampasnya. Aku tidak mau mengubah keputusanku.
“Maaf,” ujar Ash.
Aku tersenyum kecil.
“Tidak perlu. Kamu akan mengembalikannya dengan milikmu sendiri, Kamu masih
ingat janjinya, kan?”
“Aku tahu. Shandy…, apa
yang kamu lihat sekarang?”
“Warna hitam, putih,”
jawabku singkat.
“Apa kamu takut?”
“Ya, selalu. Aku takut
tersandung. Aku tak ingin berada di dalam gelap selamanya.”
***
Aku duduk di bangku
taman, di kompleks perumahanku. Hari ini aku tak ingin bersama dengan Ash. Ada
alasan yang cukup jelas untuk pertemuanku dengannya ini. Aku takut aku akan
luluh dengan Ash.
Suara langkah kaki
terdengar mendekat ke arahku. Lalu aku mendengar bunyi music yang kelewat
kencang, berarti orang itu Ashleen, adik kembar Ash yang selalu menempelkan earphone di kedua telinganya.
“Ashleen,” panggilku
Ashleen tetawa kecil,
terdengar sini. “Benar.”
“Ada apa?”
“Jangan menyiksa Ash.”
“Dia sudah menyiksaku
lebih dulu, selama 2 tahun!” seruku tiba-tiba marah.
“Tapi dia sudah
tersiksa selama 18 tahun, jauh lebih lama sebelum kamu bertemu dengan Ash,
setahun, 7 bulan.”
“Apa?”
“Ash baru melihat 3
tahun terakhir ini. Dan kamu ingin merampas penglihatan Ash lagi? Dia sudah
jauh lebih menderita darimu, Shandy! Kamu benar-benar penghancur kehidupannya!”
Aku nyaris tak bisa
bergerak dari tempatku. Aku tak mengerti maksudnya. “Penglihatan?” ulangku.
“Ash buta sejak lahir,
Shandy,” jelas Ashleen, “Dia mendapat donor mata dari kakak sulung kami yang
meninggal, Marcell mewariskan kornea matanya untuk Ash bila dia meninggal. Pada
akhirnya Ash dapat melihat. Kornea itu milik Marcell, kamu tidak boleh
mengambilnya!”
Kata-kata Ashleen
menghujam diriku. Yang kutahu adalah Ash menabrakku, mencelakaiku, dia
membuatku kehilangan apa yang seharusnya menjadi milkku. Salahkah aku kalau aku
meminta kembali semua kehidupan normal yang pernah ada untukku?
“Ashleen,” panggilku.
Aku menarik napas, “Seharusnya kamu mengerti tentang…,” aku bangkit berdiri,
“Barang yang sudah diberikan kepada orang lain, bukan? Maka orang yang
menerimanya, disebut sebagai pemilik. Jadi, kalau pemilik itu ingin
menyerahkannya kepada orang lain, maka pemilik pertama tidak berhak
melarangnya, betul kan, penjelasanku?”
“Shandy!” dia
menghentikan ucapanku, lalu tangannya menampar pipiku. “Keterlaluan!”
sergahnya, “Ash begitu mengkhawatirkan dirimu. Tapi kamu begitu kejam!”
serunya. “Dengar, Shandy, Ash terlalu baik, jangan mengambil satu-satunya hal
yang baru saja dia dapatkan!” Ashleen berlari pergi.
Aku kembali terduduk di
bangku taman, terdiam. Aku dapat mencium bau hujan di sekitarku. Tak lama
kemudian, hujan benar-benar turun. Aku masih termenung di kursi taman, tak
ingin pulang.
Beberapa saat setelah
pikiranku melayang jauh, aku mengira ada benda yang menghalangi hujan di
atasku. Ada Ash tiba-tiba, dia pasti membawa paying. Ash memelukku, aku
tersentak. Aku menolak, ada rasa yang menginginkanku menolak pelukkannya, tapi
toh aku diam saja.
Ash menuntunku ke
tempat berteduh, aku mengikutinya. Aku tak menduga-duga ke mana Ash membawaku,
karena aku percaya padanya.
“Kenapa hujan-hujanan?”
tanyanya lembut.
Aku ingin menangis. Ash
memelukku erat-erat. “Apa yang membuatmu sedih, Shandy?” dia bertanya, “Jangan
khawatir, sebentar lagi kamu bisa melihat. Hari-hari tanpa warna akan usai,
kamu pasti akan senang.”
Air mataku turun. Pedih
rasanya mendengar ucapan itu dari mulut Ash sendiri. Ash rela kornea matanya
diserhkan untukku.
“Ketakutan itu akan
lenyap…,Shandy-ku, Sayang.”
***
Aku jahat, dan Ash
malaikat. Dia terlalu baik, sehingga aku tak bisa tega padanya.
Akhir dari semua ini,
aku memutuskan untuk menjadi pecundang, pergi ke Brazil, meninggalkan Jakarta,
tinggal di rumah Nenek. Tepat pada jam operasi besok. Dokter sudah memberikan
keterangan bahwa kornea mata Ash bisa didonorkan untukku, dan mendengar itu,
aku berniat ingin membatlkannnya secara sepihak. Aku ke Brazil bahkan secara
diam-diam.
***
Dua
tahun kemudian…
Masih ingat kalau dulu
aku selalu menjepret siluet Ash di balik jendela? Aku melakukannya ketika Ash
memandang jendela di sore hari. Ketika hari-hari Ash sebagai pelatih renang
sudah selesai, tepat saat dia bersantai di rumahnya, memandang keluar jendela.
Foto itu tampak seperti
siluet. Tubuh Ash di dalam kamera itu berwarna hitam, dan sekitarnya berwarna.
Namun semua hasil jepretan itu tak ada yang bergambar Ash seutuhnya.
Aku hanya menjepretnya,
kadang tangnnya saja, kadang-kadang hanya jendela tanpa Ash. Rupanya semua
hasil jepreta itu tak mengenai Ash satu pun. Begitu konyol. Begitulah hasilnya
kalau orang buta berlagak menjadi fotografer. Hah.
Sekarang sudah 2 tahun
berlalu sejak aku menginggalkan rumahku. Aku sudah bisa melihat, aku mendapat
donor mata dari orang lain. Kabar Ash, aku tak tahu.
Aku
tak sabar menemui Ash.
Aku mengetuk pintu
rumah Ash keesokkan harinya, ingin mengejutkannya bahwa aku sudah bisa melihat.
Aku tak pernah mengabarinya ketika aku memutuskan untuk pergi. Saat itu, aku
takut pada rasa bersalah di hatiku, sulit untuk menemuinya.
Pintu rumah Ash
terbuka, aku melempar senyum. Ada Ashley di sana.
“Shandy? Kamu kembali?
Dan… bisa melihat?”
“Ya, aku mau bertemu
Ash, Ashley.”
Ashley terlihat
menegang. “Kamu yakin? Banyak hal yang terjadi setelah kepergianmu,” katanya
kaku.
“Apa maksudnya?”
“Masuklah, dan temui
saja dia.”
Aku menurutinya, dan
sudah berada di depan kamar Ash. Aku mengtuk pintu dan mendengar jawaban Ash.
Kudapati Ash sedang membelakangiku, menghadap jendela. Sesaat, aku tergoda
untuk memotretnya.
“Shandy-ku, Sayang,
lama tidak bertemu,” sapanya tiba-tiba.
Ada gejolak dalam
hatiku, sebuah perasaan lama, antara benci, saying, dan kasihan, membaur jadi
satu. Ada rasa lain yang seperti menglus semua indera milikku. Hangat, panas,
dan beku.
Shandy-ku
Sayang, Shandy-ku Sayang. Kata itu kudengar penuh hasrat dan
kebimbangan. Sebuah nada jujur dalam warna suara jernih. Oh, Tuhan.
Aku berlari memeluk
punggungnya, untuk segala kenangan yang tertimbun hitam dalam mataku yang
kosong. Aku melepas pelukkanku, dan Ash berbalik. Aku melihat wajah Ash. Dia
tampan.
Lekuk sempurna, rahang
kokoh. Lengkap, apa yang ingin kuketahui sekarang menjadi jelas. Setiap warna.
Kulitnya yang putih bagai patung pualam, warna cokelat gelap rambuthnya, warna
suaranya, warna pakaiannya, warna matanya…, aku terhenti memandang matanya.
“Ambilkan tongkatku,
Shandy,” ujarnya.
“Apa?”
“Tongkat. Yang biasanya
digunakan orang buta,” ulangnya.
Rasa merinding
menyergarp tubuhku tiba-tiba. Aku menggerak-gerakkan tangnku kea rah matanya,
tak bergerak.
“Shandy? Di mana
tongkatku?”
“Tak tahu,” jawabku
lirih.
“Kalau begitu tuntun
aku ke sofa. Sepertinya Ashleen menaruh sembarangan lagi.”
“Aku tidak mau,”
tolakku. Mataku berkaca-kaca.
Dia tampak heran, tapi
keheranannya ditutupi oleh senyumnya yang menawan. “Oh, aku tahu. Kamu ingin
aku sengsara sepertimu dulu, kan? Ya Tuhan, aku lupa.”
Dia masih ingat? Dulu
aku pernah bilang padanya, aku ingin dia menderita seperti aku. Dan sekarang?
“Ash!” tangisku sudah
meledak. Aku memegang lengannya. “Aku tak mau kamu menderita. Kamu tidak
mendonorkan kornea itu padaku, tapi kenapa kamu tidak bisa melihat?!”
“Aku ingin mengabulkan
permintaanmu, Shandy. Aku ingin kamu senang. Kalau aku tidak bisa melihat, berarti
kamu bisa. Lagipula, waktu itu kamu pergi, di saat aku sudah di operasi. Kamu
pergi tanpa pesan. Jadi kornea itu diberikan untuk orang yang membutuhkannya.”
Tanpa sengaja aku
meremas tangan Ash. “Bukankah, melihat adalah impianmu sejak kecil, Ash? Kenapa
kamu mengorbankan itu?”
“Karena sudah takdirku
aku tak bisa melihat.”
“Tapi, hadiah dari
Marcell membuatmu bisa melihat, dan kamu malah…?”
“Sudahlah, jangan
menangis,” hibur Ash. “Shandy, aku ingin membuatmu bahagia. Sangat, sangat
ingin. Hingga aku tak peduli lagi pada penglihatanku ini.”
Aku masih memandangnya.
Begitu sakit, begitu pilu.
“Oh ya, kamu sudah
punya pacar katanya? Beruntung. Dulu, waktu 1 minggu itu…, cukup buatku
mengathui betapa aku sangat menyayangimu. Itulah, satu-satunya alasan, aku
menyanggupi permintaanmu. Dengar, kamu tidak egois. Aku melakukannya dengan
tulus. Tak peduli bisa melihat atau tidak dirimu, aku mencintaimu.”
Aku memandangnya. Untuk
semua rasa yang tercipta, Ash adalah yang terbaik. Sayang, Ash terlalu baik untukku
yang terlalu jahat. Saying, Ash mengorbankan penglihatannya untukku yang
akhirnya tidak menginginkannya. Sayang, Ash mencintaiku di saat aku tak pantas
dicintai.
*******
Written by: Johana Melisa
No comments:
Post a Comment