Mosaic Rile: Siluet Hitam-Putih

Wednesday, March 11, 2015

Siluet Hitam-Putih



Aku merasakan, bayangan tinggi menjulang, berdiri di depan jendela berbingkai kotak-kotak. Aku tahu kapan dia berdiri di depan jendela rumahnya, saat matahari nyaris tenggelam, menampakkan sinar yang katanya seperti warna emas, percampuran sempurna pada ciptaan yang sempurna.
Pikiranku beralih pada sosok di rumah sebelah, tanganku mencari-cari kamera digital di atas mejaku. Susah payah aku mengambilnya, mendekatkan benda itu ke sebelah mataku, lalu menjepret objekku.
Dia. Aku hafal namanya, usianya tanggal lahirnya—oh bukan. Dia bukan sosok orang yang kusukai. Bukan pula seperti kisah kebanyakan-kalau dia adalah sosok tampan yang disukai oleh gadis tetangganya, berharap bisa berkencan dengannya.
Tahu tidak? Aku buta. Aku benci dia, Ash. Aku telah kehilangan semuanya karena Ash menabrakku. Aku tak bisa sekolah karena aku tak sanggup menerima segala bentuk penghinaan.
Dua tahun aku tak bisa melihat, seharusnya sekarang aku bisa kuliah, tapi aku malah jadi guru privat piano di rumahku, dan terkadang, aku mengajar huru Braille kepada sesama orang buta.
Bisa bayangkan, betapa aku menginginkan Ash merasakan penderitaan yang sama denganku. Aku ingin Ash tidak bisa melihat warna lain selain hitam-putih.

***

Aku berjalan mendatangi rumah Ash, untuk pertama kalinya. Ash, seorang berdarah Spanyol-Inggris. Kedua orangtuanya setuju untuk menetap permanen di sini, di samping rumahku, atas permintaan Ash.
Aku mengetuk pintunya dan kurasa seseorang membuka pintunya. “Shandy?”
Aku terdiam. Aku mencerna jenis suara hangat yang dimiliki pemilik suara itu, suara Ash. Aku mendengar suara bisik-bisik di belakang Ash. Kurasa, yang berdiri di belakang Ash itu adiknya, mungkin dengan saudara kembarnya. Ashley dan Ashleen.
Aku membuka suara, “Kembalikan penglihatanku, Ash.”
Bisik-bisik itu berhenti. Aku mendengar kedua saudara kembar Ash itu berjengit. Aku diam dan berbalik pergi, namun sebuah tangan mencekal lenganku. Seketika, aku membeku.
“Baiklah,” jawabnya.
“Satu minggu waktunya,” sambungku. Aku berjalan pergi.
Namun rupanya Ash mengikutiku, aku lagi-lagi, merasakannya.
“Aku tidak akan menarik ucapanku,” ujarku membuka suara.
“Bukan itu,” katanya, “Aku punya syarat.”
“Tak ada syarat.”
“Selama seminggu, kamu harus bersamaku,” dia meneruskan ucapannya.
Aku mengangguk begitu saja. Lalu Ash menarik lenganku, dia menuntunku untuk jalan di sampingnya. Aku tidak bisa mengelak. Mungkin aku memang harus bersabar menunggu 1 minggu ini berlalu.

***

Aku bersama dengan Ash sudah 3 hari. Lalu 4 hari lagi aku akan merebut kembali penglihatanku, dari orang yang sudah merampasnya. Aku tidak mau mengubah keputusanku.
“Maaf,” ujar Ash.
Aku tersenyum kecil. “Tidak perlu. Kamu akan mengembalikannya dengan milikmu sendiri, Kamu masih ingat janjinya, kan?”
“Aku tahu. Shandy…, apa yang kamu lihat sekarang?”
“Warna hitam, putih,” jawabku singkat.
“Apa kamu takut?”
“Ya, selalu. Aku takut tersandung. Aku tak ingin berada di dalam gelap selamanya.”

***

Aku duduk di bangku taman, di kompleks perumahanku. Hari ini aku tak ingin bersama dengan Ash. Ada alasan yang cukup jelas untuk pertemuanku dengannya ini. Aku takut aku akan luluh dengan Ash.
Suara langkah kaki terdengar mendekat ke arahku. Lalu aku mendengar bunyi music yang kelewat kencang, berarti orang itu Ashleen, adik kembar Ash yang selalu menempelkan earphone  di kedua telinganya.
“Ashleen,” panggilku
Ashleen tetawa kecil, terdengar sini. “Benar.”
“Ada apa?”
“Jangan menyiksa Ash.”
“Dia sudah menyiksaku lebih dulu, selama 2 tahun!” seruku tiba-tiba marah.
“Tapi dia sudah tersiksa selama 18 tahun, jauh lebih lama sebelum kamu bertemu dengan Ash, setahun, 7 bulan.”
“Apa?”
“Ash baru melihat 3 tahun terakhir ini. Dan kamu ingin merampas penglihatan Ash lagi? Dia sudah jauh lebih menderita darimu, Shandy! Kamu benar-benar penghancur kehidupannya!”
Aku nyaris tak bisa bergerak dari tempatku. Aku tak mengerti maksudnya. “Penglihatan?” ulangku.
“Ash buta sejak lahir, Shandy,” jelas Ashleen, “Dia mendapat donor mata dari kakak sulung kami yang meninggal, Marcell mewariskan kornea matanya untuk Ash bila dia meninggal. Pada akhirnya Ash dapat melihat. Kornea itu milik Marcell, kamu tidak boleh mengambilnya!”
Kata-kata Ashleen menghujam diriku. Yang kutahu adalah Ash menabrakku, mencelakaiku, dia membuatku kehilangan apa yang seharusnya menjadi milkku. Salahkah aku kalau aku meminta kembali semua kehidupan normal yang pernah ada untukku?
“Ashleen,” panggilku. Aku menarik napas, “Seharusnya kamu mengerti tentang…,” aku bangkit berdiri, “Barang yang sudah diberikan kepada orang lain, bukan? Maka orang yang menerimanya, disebut sebagai pemilik. Jadi, kalau pemilik itu ingin menyerahkannya kepada orang lain, maka pemilik pertama tidak berhak melarangnya, betul kan, penjelasanku?”
“Shandy!” dia menghentikan ucapanku, lalu tangannya menampar pipiku. “Keterlaluan!” sergahnya, “Ash begitu mengkhawatirkan dirimu. Tapi kamu begitu kejam!” serunya. “Dengar, Shandy, Ash terlalu baik, jangan mengambil satu-satunya hal yang baru saja dia dapatkan!” Ashleen berlari pergi.
Aku kembali terduduk di bangku taman, terdiam. Aku dapat mencium bau hujan di sekitarku. Tak lama kemudian, hujan benar-benar turun. Aku masih termenung di kursi taman, tak ingin pulang.
Beberapa saat setelah pikiranku melayang jauh, aku mengira ada benda yang menghalangi hujan di atasku. Ada Ash tiba-tiba, dia pasti membawa paying. Ash memelukku, aku tersentak. Aku menolak, ada rasa yang menginginkanku menolak pelukkannya, tapi toh aku diam saja.
Ash menuntunku ke tempat berteduh, aku mengikutinya. Aku tak menduga-duga ke mana Ash membawaku, karena aku percaya padanya.
“Kenapa hujan-hujanan?” tanyanya lembut.
Aku ingin menangis. Ash memelukku erat-erat. “Apa yang membuatmu sedih, Shandy?” dia bertanya, “Jangan khawatir, sebentar lagi kamu bisa melihat. Hari-hari tanpa warna akan usai, kamu pasti akan senang.”
Air mataku turun. Pedih rasanya mendengar ucapan itu dari mulut Ash sendiri. Ash rela kornea matanya diserhkan untukku.
“Ketakutan itu akan lenyap…,Shandy-ku, Sayang.”

***

Aku jahat, dan Ash malaikat. Dia terlalu baik, sehingga aku tak bisa tega padanya.
Akhir dari semua ini, aku memutuskan untuk menjadi pecundang, pergi ke Brazil, meninggalkan Jakarta, tinggal di rumah Nenek. Tepat pada jam operasi besok. Dokter sudah memberikan keterangan bahwa kornea mata Ash bisa didonorkan untukku, dan mendengar itu, aku berniat ingin membatlkannnya secara sepihak. Aku ke Brazil bahkan secara diam-diam.

***

Dua tahun kemudian…

 
Masih ingat kalau dulu aku selalu menjepret siluet Ash di balik jendela? Aku melakukannya ketika Ash memandang jendela di sore hari. Ketika hari-hari Ash sebagai pelatih renang sudah selesai, tepat saat dia bersantai di rumahnya, memandang keluar jendela.
Foto itu tampak seperti siluet. Tubuh Ash di dalam kamera itu berwarna hitam, dan sekitarnya berwarna. Namun semua hasil jepretan itu tak ada yang bergambar Ash seutuhnya.
Aku hanya menjepretnya, kadang tangnnya saja, kadang-kadang hanya jendela tanpa Ash. Rupanya semua hasil jepreta itu tak mengenai Ash satu pun. Begitu konyol. Begitulah hasilnya kalau orang buta berlagak menjadi fotografer. Hah.
Sekarang sudah 2 tahun berlalu sejak aku menginggalkan rumahku. Aku sudah bisa melihat, aku mendapat donor mata dari orang lain. Kabar Ash, aku tak tahu.


Aku tak sabar menemui Ash.


Aku mengetuk pintu rumah Ash keesokkan harinya, ingin mengejutkannya bahwa aku sudah bisa melihat. Aku tak pernah mengabarinya ketika aku memutuskan untuk pergi. Saat itu, aku takut pada rasa bersalah di hatiku, sulit untuk menemuinya.
Pintu rumah Ash terbuka, aku melempar senyum. Ada Ashley di sana.
“Shandy? Kamu kembali? Dan… bisa melihat?”
“Ya, aku mau bertemu Ash, Ashley.”
Ashley terlihat menegang. “Kamu yakin? Banyak hal yang terjadi setelah kepergianmu,” katanya kaku.
“Apa maksudnya?”
“Masuklah, dan temui saja dia.”
Aku menurutinya, dan sudah berada di depan kamar Ash. Aku mengtuk pintu dan mendengar jawaban Ash. Kudapati Ash sedang membelakangiku, menghadap jendela. Sesaat, aku tergoda untuk memotretnya.
“Shandy-ku, Sayang, lama tidak bertemu,” sapanya tiba-tiba.
Ada gejolak dalam hatiku, sebuah perasaan lama, antara benci, saying, dan kasihan, membaur jadi satu. Ada rasa lain yang seperti menglus semua indera milikku. Hangat, panas, dan beku.
Shandy-ku Sayang, Shandy-ku Sayang. Kata itu kudengar penuh hasrat dan kebimbangan. Sebuah nada jujur dalam warna suara jernih. Oh, Tuhan.
Aku berlari memeluk punggungnya, untuk segala kenangan yang tertimbun hitam dalam mataku yang kosong. Aku melepas pelukkanku, dan Ash berbalik. Aku melihat wajah Ash. Dia tampan.
Lekuk sempurna, rahang kokoh. Lengkap, apa yang ingin kuketahui sekarang menjadi jelas. Setiap warna. Kulitnya yang putih bagai patung pualam, warna cokelat gelap rambuthnya, warna suaranya, warna pakaiannya, warna matanya…, aku terhenti memandang matanya.
“Ambilkan tongkatku, Shandy,” ujarnya.
“Apa?”
“Tongkat. Yang biasanya digunakan orang buta,” ulangnya.
Rasa merinding menyergarp tubuhku tiba-tiba. Aku menggerak-gerakkan tangnku kea rah matanya, tak bergerak.
“Shandy? Di mana tongkatku?”
“Tak tahu,” jawabku lirih.
“Kalau begitu tuntun aku ke sofa. Sepertinya Ashleen menaruh sembarangan lagi.”
“Aku tidak mau,” tolakku. Mataku berkaca-kaca.
Dia tampak heran, tapi keheranannya ditutupi oleh senyumnya yang menawan. “Oh, aku tahu. Kamu ingin aku sengsara sepertimu dulu, kan? Ya Tuhan, aku lupa.”
Dia masih ingat? Dulu aku pernah bilang padanya, aku ingin dia menderita seperti aku. Dan sekarang?
“Ash!” tangisku sudah meledak. Aku memegang lengannya. “Aku tak mau kamu menderita. Kamu tidak mendonorkan kornea itu padaku, tapi kenapa kamu tidak bisa melihat?!”
“Aku ingin mengabulkan permintaanmu, Shandy. Aku ingin kamu senang. Kalau aku tidak bisa melihat, berarti kamu bisa. Lagipula, waktu itu kamu pergi, di saat aku sudah di operasi. Kamu pergi tanpa pesan. Jadi kornea itu diberikan untuk orang yang membutuhkannya.”
Tanpa sengaja aku meremas tangan Ash. “Bukankah, melihat adalah impianmu sejak kecil, Ash? Kenapa kamu mengorbankan itu?”
“Karena sudah takdirku aku tak bisa melihat.”
“Tapi, hadiah dari Marcell membuatmu bisa melihat, dan kamu malah…?”
“Sudahlah, jangan menangis,” hibur Ash. “Shandy, aku ingin membuatmu bahagia. Sangat, sangat ingin. Hingga aku tak peduli lagi pada penglihatanku ini.”
Aku masih memandangnya. Begitu sakit, begitu pilu.
“Oh ya, kamu sudah punya pacar katanya? Beruntung. Dulu, waktu 1 minggu itu…, cukup buatku mengathui betapa aku sangat menyayangimu. Itulah, satu-satunya alasan, aku menyanggupi permintaanmu. Dengar, kamu tidak egois. Aku melakukannya dengan tulus. Tak peduli bisa melihat atau tidak dirimu, aku mencintaimu.”
Aku memandangnya. Untuk semua rasa yang tercipta, Ash adalah yang terbaik. Sayang, Ash terlalu baik untukku yang terlalu jahat. Saying, Ash mengorbankan penglihatannya untukku yang akhirnya tidak menginginkannya. Sayang, Ash mencintaiku di saat aku tak pantas dicintai.

 

*******
 
Written by: Johana Melisa
 

No comments:

Post a Comment