“You and me sitting here spinning gears, we’re like a
stolen car.”
Bisik-bisik
itu terdengar di telinga Claire bagai dengungan tajam yang mengusik
pendengarannya. Bermil-mil jauhnya ia dan Josh mengemudi, ia tahu bahwa bisikan
tajam itu tak pernah berhenti.
“Kau lihat anak itu, dia tak tahu diri!” Claire menekan pedal gas, membawa laju mobil itu
semakin kencang, seiring dengan meningkatnya monster-monster emosi dalam
jiwanya. Ia membanting setirnya ke kiri dan ke kanan, menyalip laju mobil-mobil
lain di tengah kemalaman yang sunyi. Ia menghantam setiap kesunyian dengan
klakson di mobilnya, menyetir dalam kondisi terburuk yang pernah dia lakukan
selama ini.
Sesaat,
tangan Josh meremas bahunya, membuat alarm tak terlihat yang menyentuh masuk ke
dalam hatinya. Hati Claire seolah ringan kembali, monster-monster amarah itu
seakan menunduk dan berganti dengan kesedihan, menyapa tetes-tetes air yang
terjatuh tanpa sadar dari kelopak matanya. Ia bingung. Ia mengambang.
“Ia pergi bersama dengan pria itu! Tidak tahu
malu!” Sumpah serapah memecah
dinding pertahanannya selama ini. Semua yang ia tulikan sejak dulu seakan-akan mampu
didengar, bahkan—lebih jelas dari orang normal
sekali pun. “Psst, dia dengar, dia
dengar,” Claire ingat lirikan mata itu. “Mungkin dia depresi. Mungkin dia nyaris gila. Dan pria itu juga tidak
ada apa-apanya! Dengar, gadis itu juga… ku rasa tidak ada yang beres dengan
Ayah dan Ibunya, pantaslah… pantas…”
“STOP!!!!”
Josh berteriak. Kaki Claire spontan menginjak rem. Klakson mobil berbunyi
nyaring. Seorang pria membuka kaca jendela dan memaki. Mobil di belakangnya
mendadak berhenti. “Aku yang mengemudi, Claire istirahatlah,” Josh mengambil
alih kursi kemudi. Claire berpindah tempat. Kakinya sempat menyentak ban mobil
sebelum ia masuk dan duduk di samping pengemudi.
Sejenak,
ia kembali tenang. Sejenak, dengungan itu tak lagi terdengar. Josh mengemudi
dengan pelan, Claire heran bagaimana kekasihnya itu tak sedikit pun terlihat
kacau. Josh menghentikan mobilnya ke samping, di bawah jalanan yang diterangi
lampu-lampu berwarna kuning di sepanjang terowongan. Sekilas, Claire tiba-tiba
menyukai tempat ini.
Ia
dan Josh turun dari mobil, duduk bersisian di samping pintu mobil. Claire
merapatkan kedua kakinya di depan dada, sementara Josh menghela napas.
“Kau
sudah yakin?” tanya Josh pada Claire.
Claire
mengangguk. “Kau berubah pikiran?”
Josh
menggeleng. “Kau lihat kita? Di sini, dengan mobil yang dipakai tanpa izin,
meninggalkan semuanya. Nyaris terlihat seperti pencuri. Kau yakin?”
Claire
mendengus. “Kita sudah tercuri, Josh. Yakin? Mengapa tidak?”
***
“The light at the tunnel is a runaway train,
the stars that we wish on are only airplanes.”
--------------------------------------------------------------------------------
“Claire,”
Josh mencium puncak kepalanya. Claire bergumam pelan dalam pelukan Josh. “Mengapa
kau masih di sini?”
Claire
melepas pelukannya tiba-tiba. Ia mengangkat wajahnya dan menemukan sorot mata
Josh. Bagi Claire, tidak ada yang mudah ditebak untuk kekasih seperti Josh, dan
arti pandangan Josh saat ini, tidak menyiratkan apa pun. Claire putus asa. “Menurutmu
aku harus ke mana?”
“Pulanglah,”
Josh memintanya, bagi Claire, Josh terdengar seperti mengusirnya.
Claire
menggeleng.
“Tidak.
Sepanjang hidupku aku tidak pernah mengambil keputusan. Mengapa sekarang kau
menyuruhku?”
Josh
memeluknya. “Karena kita…,” Josh menghentikan perkataannya. Tiba-tiba saja Josh
terkejut, tangan kanannya menunjuk ke langit, “Claire kau lihat bintang jatuh!”
Claire
menengadahkan kepalanya, menatap langit dan bintang yang dimaksud Josh, tanpa
sadar mengucap keinginannya untuk bersama Josh selamanya. Ia kembali menatap
Josh, menyunggingkan senyum sekilas, bergumam dalam hati apakah Josh
mengucapkan permintaan yang serupa? Karena ia tahu tidak ada bintang jatuh di
atas langit sana.
“Time is on neither side, no one’s wrong, and
no one’s right.”
---------------------------------------------------------------------------------------------
“Kau
tahu bahwa Ayahmu akan selalu menolakmu dengan Josh. Kau tahu ada perselisihan
antara Josh dan Ayahmu. Kau tahu bahwa tidak ada yang baik yang akan terjadi
antara kau dan Josh. Mengapa kau tidak pernah mendengarnya?” Claire menatap
kakak perempuannya, ia terdiam. Ia tahu bahwa Josh mendengar percakapan itu di
ruang tamu. Ia tahu sebentar lagi Ayahnya akan pulang, ia juga tahu akan ada
kekacauan besar jika ia tetap di sini.
“Claire?
Kau dengar aku, kan? Dari sekian banyak orang mengapa harus Josh? Kau
jelas-jelas tahu Josh adalah anak Ayahmu dari wanita lain. Kau tahu Josh
berniat balas dendam, kau tahu Josh sengaja bekerja di rumah sakit yang sama, dan
mengapa?”
“Cukup,”
Claire menggertakkan giginya. Tak perlu diulang, ia tahu kesalahannya sejak
awal mencintai Josh. Ia tahu Josh adalah saudara tirinya, ia tahu Ibu Josh ditinggalkan oleh Ayahnya
demi wanita yang melahirkan Claire. Ia tahu semua masa lalu itu. Dan ia tahu tak
ada yang bisa diubah dari perasaan cintanya pada Josh.
“Aku
tahu Josh tidak benar-benar serius padamu,” kakaknya berbicara lagi. Di tengah
pembicaraan tegang itu, ia melihat sosok Ayahnya yang datang dengan amarah,
berjalan cepat ke arahnya dan menampar pipi kanannya kuat-kuat. Claire tak lagi
mau mendengar setiap makian yang dilontarkan Ayahnya, yang ia tahu, tiba-tiba
saja pria itu terdiam kaku, napasnya tersengal-sengal dan Josh datang secepat
kilat untuk menopang Ayahnya berdiri.
“Penyakitnya
kambuh,” Josh bergumam pelan.
***
“Hiding pain, Novocaine is gonna fade, there’s
no good in goodbye.”
Ayahnya
meninggal.
Di
tangan seorang dokter.
Dokter
itu, kekasihnya sendiri.
Dokter
itu, Josh.
“Kami
terlambat,” begitu kata Josh, masih dalam pakaian operasi.
Claire
terdiam. Memandang Josh bimbang. Sekali lagi, tak ada yang terlihat dari raut
wajah Josh. Ia tidak sedih. Ia tidak merasa bersalah. Ia tidak prihatin.
Mungkin, mungkin ia memang tidak salah. Josh berjalan ke arah Claire,
memandangnya singkat tanpa berkata apa-apa.
***
“The greatest pretenders forget to remember
the lies. We’re falling together, the ties that we sever tonight.”
----------------------------------------------------------------------------------------------
Bagi
Josh, operasi itu seharusnya berjalan lancar. Bagi Josh, tidak ada yang salah
dengan tangan dinginnya. Namun, wajah pasien yang terbaring itu membangunkan
kebencian di hatinya, mengingatkannya pada masa lalu, mengingatkan bagaimana
Ibunya menderita saat ditinggal oleh pria yang terbaring itu. Melihat bagaimana
kehidupan Claire yang bahagia bersama Ayah barunya.
Josh
hadir di tengah-tengah kebahagiaan itu. Josh melihat Claire sebagai wanita yang
menarik. Tidak tahu sejak kapan hatinya berubah, Josh mencintai Claire.
Perasaan itu timbul begitu saja di saat ia mulai bekerja di rumah sakit di mana
Ayah Claire adalah direktur dan dokter handal di sana. Ia, hanya ingin
menghancurkannya. Josh yang kini, tidak tahu mana yang lebih diinginkan
hatinya. Mencintai Claire, atau membalaskan masa lalunya.
Saat
Josh berpikir dan bimbang, saat itu degup jantung pria itu seakan berhenti.
Josh bahkan tidak bergeming dari tempatnya. Ia menatap jam dinding di kamar
operasi.
“Pukul
01.20, pasien meninggal atas serangan jantung,” katanya perlahan.
***
Josh
memeluk Claire di upacara pemakaman itu. Claire melihat kakak dan Ibunya
menangis, sementara mereka tidak menghiraukan Claire. Menurut mereka, Claire
dan Josh adalah penyebab kematian Ayah mereka.
“Kau lihat anak itu, dia tak tahu diri!”
Claire tersentak. Ia menatap seorang wanita yang berbisik dengan seseorang,
berjarak tak jauh dengannya. Wanita itu dengan jelas menudingnya.
Claire
memandang Josh sekali lagi. Benarkah operasinya tidak berjalan mulus? Benarkah
Josh adalah satu-satunya dokter yang mampu menangani kondisi Ayahnya?
“Kekasihnya itu pembunuh. Dia bukan dokter,”
tudingan itu terdengar lagi. Claire tidak tahan, ia berlari menjauh, Josh
mengejarnya.
“Claire!”
Tangan
Josh menahan lengannya. Ia berbalik, “Apakah itu benar? Apa yang mereka katakan
itu benar?”
“Tidak,”
Josh menjawab.
Claire
menatap Josh, setidaknya, Josh sudah berusaha. Ia maju memeluk pria itu. “Malam
ini, bagaimana kalau kita pergi saja?”
***
“Gotta open up, open up!”
“Hey,
Claire…,” panggil Josh. Pria itu menatap Claire yang duduk meringkuk di
sampingnya, dengan kondisi yang sangat kacau. Dan Josh tidak tega melihat
kekasihnya seperti itu. Ia maju memeluknya. “Kau sudah tenang?”
Claire
tidak menjawab. Tak terhitung berapa menit yang terlewati, akhirnya Claire bertanya,
“Sekarang bagaimana?”
“Bagaimana
menurutmu?” Josh bertanya balik.
Claire
menggeleng.
“Kau
percaya padaku?”
Claire
mengangguk dalam pelukannya. Josh menghela napas, tidak tahu jawaban apa yang
ia harapkan. “Ada yang ingin kukatakan, Claire.”
Claire
melepas pelukannya dan menatap Josh. Kedua bola mata itu tampak begitu sayu,
dan Josh tidak tega melihatnya. “Aku…,” Aku
tidak berusaha menyelamatkan Ayahmu, ada banyak detik dan menit yang ku lewati
hanya untuk mempertimbangkan perasaanku. Aku mengulur waktu dan membiarkannya
pergi begitu saja. Apakah kau masih mau mempercayakan hidupmu padaku?
“Kau
kenapa?” desak Claire.
Josh
memejamkan mata. “Aku mencintaimu.”
“Cause we’re picture perfect in a broken
frame.”
********
Written by : Johana Melisa
No comments:
Post a Comment