Mosaic Rile: Broken Frame

Monday, November 16, 2015

Broken Frame


“You and me sitting here spinning gears, we’re like a stolen car.”
 -----------------------------------------------------------------------------------------------

Bisik-bisik itu terdengar di telinga Claire bagai dengungan tajam yang mengusik pendengarannya. Bermil-mil jauhnya ia dan Josh mengemudi, ia tahu bahwa bisikan tajam itu tak pernah berhenti.
“Kau lihat anak itu, dia tak tahu diri!” Claire menekan pedal gas, membawa laju mobil itu semakin kencang, seiring dengan meningkatnya monster-monster emosi dalam jiwanya. Ia membanting setirnya ke kiri dan ke kanan, menyalip laju mobil-mobil lain di tengah kemalaman yang sunyi. Ia menghantam setiap kesunyian dengan klakson di mobilnya, menyetir dalam kondisi terburuk yang pernah dia lakukan selama ini.
Sesaat, tangan Josh meremas bahunya, membuat alarm tak terlihat yang menyentuh masuk ke dalam hatinya. Hati Claire seolah ringan kembali, monster-monster amarah itu seakan menunduk dan berganti dengan kesedihan, menyapa tetes-tetes air yang terjatuh tanpa sadar dari kelopak matanya. Ia bingung. Ia mengambang.
Ia pergi bersama dengan pria itu! Tidak tahu malu! Sumpah serapah memecah dinding pertahanannya selama ini. Semua yang ia tulikan sejak dulu seakan-akan mampu didengar, bahkan—lebih  jelas dari orang normal sekali pun. “Psst, dia dengar, dia dengar,” Claire ingat lirikan mata itu. “Mungkin dia depresi. Mungkin dia nyaris gila. Dan pria itu juga tidak ada apa-apanya! Dengar, gadis itu juga… ku rasa tidak ada yang beres dengan Ayah dan Ibunya, pantaslah… pantas…
“STOP!!!!” Josh berteriak. Kaki Claire spontan menginjak rem. Klakson mobil berbunyi nyaring. Seorang pria membuka kaca jendela dan memaki. Mobil di belakangnya mendadak berhenti. “Aku yang mengemudi, Claire istirahatlah,” Josh mengambil alih kursi kemudi. Claire berpindah tempat. Kakinya sempat menyentak ban mobil sebelum ia masuk dan duduk di samping pengemudi.
Sejenak, ia kembali tenang. Sejenak, dengungan itu tak lagi terdengar. Josh mengemudi dengan pelan, Claire heran bagaimana kekasihnya itu tak sedikit pun terlihat kacau. Josh menghentikan mobilnya ke samping, di bawah jalanan yang diterangi lampu-lampu berwarna kuning di sepanjang terowongan. Sekilas, Claire tiba-tiba menyukai tempat ini.
Ia dan Josh turun dari mobil, duduk bersisian di samping pintu mobil. Claire merapatkan kedua kakinya di depan dada, sementara Josh menghela napas.
“Kau sudah yakin?” tanya Josh pada Claire.
Claire mengangguk. “Kau berubah pikiran?”
Josh menggeleng. “Kau lihat kita? Di sini, dengan mobil yang dipakai tanpa izin, meninggalkan semuanya. Nyaris terlihat seperti pencuri. Kau yakin?”
Claire mendengus. “Kita sudah tercuri, Josh. Yakin? Mengapa tidak?”

***

The light at the tunnel is a runaway train, the stars that we wish on are only airplanes.
--------------------------------------------------------------------------------

“Claire,” Josh mencium puncak kepalanya. Claire bergumam pelan dalam pelukan Josh. “Mengapa kau masih di sini?”
Claire melepas pelukannya tiba-tiba. Ia mengangkat wajahnya dan menemukan sorot mata Josh. Bagi Claire, tidak ada yang mudah ditebak untuk kekasih seperti Josh, dan arti pandangan Josh saat ini, tidak menyiratkan apa pun. Claire putus asa. “Menurutmu aku harus ke mana?”
“Pulanglah,” Josh memintanya, bagi Claire, Josh terdengar seperti mengusirnya.
Claire menggeleng.
“Tidak. Sepanjang hidupku aku tidak pernah mengambil keputusan. Mengapa sekarang kau menyuruhku?”
Josh memeluknya. “Karena kita…,” Josh menghentikan perkataannya. Tiba-tiba saja Josh terkejut, tangan kanannya menunjuk ke langit, “Claire kau lihat bintang jatuh!”
Claire menengadahkan kepalanya, menatap langit dan bintang yang dimaksud Josh, tanpa sadar mengucap keinginannya untuk bersama Josh selamanya. Ia kembali menatap Josh, menyunggingkan senyum sekilas, bergumam dalam hati apakah Josh mengucapkan permintaan yang serupa? Karena ia tahu tidak ada bintang jatuh di atas langit sana.


Time is on neither side, no one’s wrong, and no one’s right.
---------------------------------------------------------------------------------------------
 
“Kau tahu bahwa Ayahmu akan selalu menolakmu dengan Josh. Kau tahu ada perselisihan antara Josh dan Ayahmu. Kau tahu bahwa tidak ada yang baik yang akan terjadi antara kau dan Josh. Mengapa kau tidak pernah mendengarnya?” Claire menatap kakak perempuannya, ia terdiam. Ia tahu bahwa Josh mendengar percakapan itu di ruang tamu. Ia tahu sebentar lagi Ayahnya akan pulang, ia juga tahu akan ada kekacauan besar jika ia tetap di sini.
“Claire? Kau dengar aku, kan? Dari sekian banyak orang mengapa harus Josh? Kau jelas-jelas tahu Josh adalah anak Ayahmu dari wanita lain. Kau tahu Josh berniat balas dendam, kau tahu Josh sengaja bekerja di rumah sakit yang sama, dan mengapa?”
“Cukup,” Claire menggertakkan giginya. Tak perlu diulang, ia tahu kesalahannya sejak awal mencintai Josh. Ia tahu Josh adalah saudara tirinya,  ia tahu Ibu Josh ditinggalkan oleh Ayahnya demi wanita yang melahirkan Claire. Ia tahu semua masa lalu itu. Dan ia tahu tak ada yang bisa diubah dari perasaan cintanya pada Josh.
“Aku tahu Josh tidak benar-benar serius padamu,” kakaknya berbicara lagi. Di tengah pembicaraan tegang itu, ia melihat sosok Ayahnya yang datang dengan amarah, berjalan cepat ke arahnya dan menampar pipi kanannya kuat-kuat. Claire tak lagi mau mendengar setiap makian yang dilontarkan Ayahnya, yang ia tahu, tiba-tiba saja pria itu terdiam kaku, napasnya tersengal-sengal dan Josh datang secepat kilat untuk menopang Ayahnya berdiri.
“Penyakitnya kambuh,” Josh bergumam pelan.

***

Hiding pain, Novocaine is gonna fade, there’s no good in goodbye.
 -------------------------------------------------------------------------------------------

Ayahnya meninggal.
Di tangan seorang dokter.
Dokter itu, kekasihnya sendiri.
Dokter itu, Josh.
“Kami terlambat,” begitu kata Josh, masih dalam pakaian operasi.
Claire terdiam. Memandang Josh bimbang. Sekali lagi, tak ada yang terlihat dari raut wajah Josh. Ia tidak sedih. Ia tidak merasa bersalah. Ia tidak prihatin. Mungkin, mungkin ia memang tidak salah. Josh berjalan ke arah Claire, memandangnya singkat tanpa berkata apa-apa.

***

The greatest pretenders forget to remember the lies. We’re falling together, the ties that we sever tonight.
----------------------------------------------------------------------------------------------

Bagi Josh, operasi itu seharusnya berjalan lancar. Bagi Josh, tidak ada yang salah dengan tangan dinginnya. Namun, wajah pasien yang terbaring itu membangunkan kebencian di hatinya, mengingatkannya pada masa lalu, mengingatkan bagaimana Ibunya menderita saat ditinggal oleh pria yang terbaring itu. Melihat bagaimana kehidupan Claire yang bahagia bersama Ayah barunya.
Josh hadir di tengah-tengah kebahagiaan itu. Josh melihat Claire sebagai wanita yang menarik. Tidak tahu sejak kapan hatinya berubah, Josh mencintai Claire. Perasaan itu timbul begitu saja di saat ia mulai bekerja di rumah sakit di mana Ayah Claire adalah direktur dan dokter handal di sana. Ia, hanya ingin menghancurkannya. Josh yang kini, tidak tahu mana yang lebih diinginkan hatinya. Mencintai Claire, atau membalaskan masa lalunya.
Saat Josh berpikir dan bimbang, saat itu degup jantung pria itu seakan berhenti. Josh bahkan tidak bergeming dari tempatnya. Ia menatap jam dinding di kamar operasi.
“Pukul 01.20, pasien meninggal atas serangan jantung,” katanya perlahan.

***

Josh memeluk Claire di upacara pemakaman itu. Claire melihat kakak dan Ibunya menangis, sementara mereka tidak menghiraukan Claire. Menurut mereka, Claire dan Josh adalah penyebab kematian Ayah mereka.
Kau lihat anak itu, dia tak tahu diri!” Claire tersentak. Ia menatap seorang wanita yang berbisik dengan seseorang, berjarak tak jauh dengannya. Wanita itu dengan jelas menudingnya.
Claire memandang Josh sekali lagi. Benarkah operasinya tidak berjalan mulus? Benarkah Josh adalah satu-satunya dokter yang mampu menangani kondisi Ayahnya?
Kekasihnya itu pembunuh. Dia bukan dokter,” tudingan itu terdengar lagi. Claire tidak tahan, ia berlari menjauh, Josh mengejarnya.
“Claire!”
Tangan Josh menahan lengannya. Ia berbalik, “Apakah itu benar? Apa yang mereka katakan itu benar?”
“Tidak,” Josh menjawab.
Claire menatap Josh, setidaknya, Josh sudah berusaha. Ia maju memeluk pria itu. “Malam ini, bagaimana kalau kita pergi saja?”


***

Gotta open up, open up!
 ------------------------------------------------------------------------------------

“Hey, Claire…,” panggil Josh. Pria itu menatap Claire yang duduk meringkuk di sampingnya, dengan kondisi yang sangat kacau. Dan Josh tidak tega melihat kekasihnya seperti itu. Ia maju memeluknya. “Kau sudah tenang?”
Claire tidak menjawab. Tak terhitung berapa menit yang terlewati, akhirnya Claire bertanya, “Sekarang bagaimana?”
“Bagaimana menurutmu?” Josh bertanya balik.
Claire menggeleng.
“Kau percaya padaku?”
Claire mengangguk dalam pelukannya. Josh menghela napas, tidak tahu jawaban apa yang ia harapkan. “Ada yang ingin kukatakan, Claire.”
Claire melepas pelukannya dan menatap Josh. Kedua bola mata itu tampak begitu sayu, dan Josh tidak tega melihatnya. “Aku…,” Aku tidak berusaha menyelamatkan Ayahmu, ada banyak detik dan menit yang ku lewati hanya untuk mempertimbangkan perasaanku. Aku mengulur waktu dan membiarkannya pergi begitu saja. Apakah kau masih mau mempercayakan hidupmu padaku?
“Kau kenapa?” desak Claire.
Josh memejamkan mata. “Aku mencintaimu.”

 -----------------------------------------------------------------------------------
Cause we’re picture perfect in a broken frame.”

 

********


Written by : Johana Melisa
 

 

 

 

No comments:

Post a Comment